Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Maret 2020

Bandara Halim Perdana Kusuma dan Bus Damri Kuala Namu

Setelah melalui sedikit drama akibat ketipu situs web yang ngatain kalo ada Bus Damri tujuan Bandara Halim Perdana Kusuma dari Stasiun Gambir. Namun ternyata bus tersebut tidak tersedia. Akhirnya aku sampe juga di Bandara Halim dengan mengendarai motornya si abang ojol. Terima kasih abang ojol.

Bandara Halim Perdana Kusuma 
Bandara Halim Perdana Kusuma

Bandara Halim Perdana Kusuma adalah satu-satunya bandara di ibu kota Jakarta setelah Bandara Kemayoran ditutup. Bandara ini dibangun pada tahun 1924 dan bernama Lapangan Terbang Tjililitan. Pada tahun 1950 lapangan terbang ini diserahkan secara resmi pada Indonesia pangkalan udara militer dan tahun 1952 bandara ini diganti namanya menjadi Bandara Halim Perdana Kusuma untuk mengenang Almarhum Halim Perdana Kusuma yang gugur dalam tugasnya.

Selain sebagai pangkalan militer, Bandara Halim Perdana Kusuma juga melayani penerbangan sipil untuk domestik maupun internasional karena saat itu penerbangan Bandara Kemayoran terlalu padat. Ketika Bandara Soetta diresmikan, Bandara Halim mengurangi slot untuk penerbangan sipil dan fokus pada penerbangan militer sampe tahun 2013 kembali dibuka penerbangan sipil di sini karena Bandara Soetta yang penerbangannya terlalu padat.

Kembali ke kisahku, setelah konter cek in penerbanganku dibuka, aku pun segera cek in dan melalui serangkaian pemeriksaan keamanan. Aku kemudian duduk santai di ruang tunggu sambil nyarger hp dan ngelihatin pesawat-pesawat yang terparkir di depan ruang tunggu.

Pesawat parkir
Hayuk masuk ke dalam pesawat
Ketika pintu pesawat telah dibuka, aku segera masuk ke dalam pesawat.

Para penumpang yang terhormat, selamat datang di penerbangan Citilink dengan tujuan Bandara Kuala Namu. Penerbangan ini akan kita tempuh dalam waktu kurang lebih dua jam dan sepuluh menit. Perlu kami sampaikan bahwa penerbangan ini adalah tanpa asap rokok, sebelum lepas landas kami persilahkan kepada Anda untuk menegakan sandaran kursi, menutup dan mengunci meja-meja kecil yang masih terbuka di hadapan Anda, mengencangkan sabuk pengaman, dan membuka penutup jendela. Atas nama kapten  dan seluruh awak pesawat yang bertugas mengucapkan selamat menikmati penerbangan ini, dan terima kasih atas pilihan anda untuk terbang bersama kami.

Wuusssshhhh....

Pesawat citilink yang kunaiki ini pun lepas landas dengan mulus. Berhubung hari yang mulai gelap, tak banyak pemandangan yang bisa kulihat dari balik jendela pesawat. Palingan cuma liatin kakak-kakak pramugari yang cakep-cakep dan manis. Dua jam kemudian setelah puas ngeliatin pramugari yang cakep itu, pesawat ini mendarat dengan aman di Bandara Kuala Namu.

Selamat datang kembali di Sumatera Utara.” Ucapku dalam hati.

Segera aku menuju stasiun bandara dan rencananya aku emang mau naik kereta bandara aja ke Kota Medan. Tapi pas aku nyampe, ternyata keretanya baru aja berangkat 3 menit yang lalu dan kereta selanjutnya baru ada 1 jam kemudian. Asem banget, telat 3 menit doang dari jadwal mendarat.

Daripada nunggu lama, aku akhirnya memilih naik Bus Damri aja untuk menuju Kota Medan. Yupz.. di Jakarta gagal naik Damri dan akhirnya di Medan naik Damrinya.

Damri Kuala Namu – Medan

Bus Damri dari Bandara Kuala Namu ini berada di lantai satu area kedatangan. Busnya punya rute menuju Terminal Amplas, Plaza Medan Fair di Jalan Gatot Subroto dan dan Ring Road untuk tujuan Binjai dan Langkat. Busnya berukuran sedang dan lebih kecil daripada Bus Damri yang ada di Bandara Soetta. Untuk harga tiketnya mulai dari Rp. 25.000 sampe Rp. 35.000 dan berangkat setiap 30 menit sekali.
Petualangan di Jakarta selesai

Minggu, 29 Maret 2020

Bundaran HI, Bus Gratis, Ketoprak dan Damri ke Halim Perdana Kusuma

Puas banget rasanya, setelah sekian lama akhirnya aku bisa melihat secara langsung tempat para tokoh pahlawan nasional merumuskan Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan melihat langsung lokasi pembacaan naskah poklamasi kemerdekaan tersebut yang sekarang menjadi Taman Proklamasi.

Saat pertama kali datang ke Jakarta setahun yang lalu, dua tempat ini sudah masuk dalam daftar tempat yang ingin kukunjungi. Namun gara-gara antrian buat naik ke puncak Monas tuh lama banget, bahkan sampe sore hari. Akhirnya gagal deh rencana tersebut dan baru sekarang terwujudnya.

Setelah puas mengelilingi dan melihat-lihat koleksi yang ada di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, aku pun segera keluar dari museum dan melanjutkan petualangan satu hariku di ibu kota.

Pas banget di depan museum ini ada halte bus feeder transjakarta, dengan naik bus aku melanjutkan petualangan menuju Bundara HI.
Bundaran HI
Brmmm.. brmmm...

Bundaran HI

Bundaran HI ini bisa dibilang salah satu ikonnya Jakarta. Dibangun pada tahun 1962 untuk menyambut para olahragawan yang bertanding di Asian Games IV. Tugunya dibangun setinggi 30 meter dan di puncaknya ada sepasang patung setinggi 7 meter yang sedang melambai.
Sepasang patung di puncak bundaran
Patung Bundaran HI aja berpasangan, kok kamu kagak sih?

-_-

Aku turun dari Transjakarta di Halte Thamrin yang nggak jauh dari Bundaran HI. Dari sana aku berjalan sampe ke bundaran. Emang keren sih nih bundaran, di sekelilingnya ada banyak gedung-gedung tinggi kayak Mall Grand Indonesia, Hotel Indonesia, Plaza Indonesia, Thamrin CBD, dan banyak lagi gedung-gedung tinggi lainnya jadi keliatan megah.

Aku pun duduk sejenak di bangku kayu yang ada di trotoar dekat Bundaran HI. Menikmati pemandangannya. Kalo hari minggu, di sini biasanya menjadi lokasi car free day dan ada banyak cewek-cewek cakep yang olahraga. Tapi karena nih hari sabtu, kagak ada car free day, yang ada matahari yang puanas banget dan asap knalpot. Asem banget.
Jalan menuju Bundara HI

Selfie di tengah cuaca terik
Setelah cukup istirahat, aku pun melanjutkan perjalanan dan saat itulah aku melihat bus transjakarta yang bertingkat dua. Ups.. menarik nih.

Bus Gratis

Bus yang kulihat itu emang bus gratis yang disediain buat wisatawan yang ingin berkeliling Jakarta. Busnya punya banyak rute ke berbagai tempat wisata di Jakarta. Oleh karena itu, aku segera naik ke dalam bus ini dan duduk dimanapun, karena isi busnya nggak begitu rame. Busnya nyaman banget, karena semua penumpang diwajibkan dapat tempat duduk. Kalo udah penuh, harus nunggu bus yang selanjutnya. Pemandangan dari bus juga jelas, apalagi kalo dari lantai duanya, keren uy.
Bus tingkat gratis

Masih sepi isinya cuy

Semua dapat tempat duduk

Pemandangan dari jendela bus
Brmm... Brmm...

Berhubung aku pengen ke Kota Tua, jadi aku harus pindah bus di depan Istiqlal. Begitu kata mbak-mbak cakep yang bertugas di dalam bus gratis ini. Jadi setelah berganti bus, akhirnya aku nyampe juga di Kota Tua.

Kota Tua

Sesampainya di Kota Tua, aku langsung menuju Taman Fatahillah, tujuanku cuma mau nyantai sambil menikmati bangunan-bangunan tua yang ada di Kota Tua ini. Apalagi dulu aku juga udah ngunjungi museum-museum yang ada di Kota Tua ini. Hanya Museum Bahari doang yang belum kesampaian ku kunjungi. Pengen sih ngunjunginya, tapi bentar lagi aku harus ke bandara, jadi aku balik lagi ke halte bus gratis dan berangkat ke Monas.
Taman Fatahillah dan Meriam Si Jagur
Let's go...

Kulineran di Lenggang Jakarta

Tujuanku ke Monas ini bukan untuk naik ke Monumen Nasionalnya, karena dulu pun aku udah pernah naik ke atas dan antriannya puanjang banget. Jadi kali ini aku ke Monas mau makan siang sekalian kulineran di Lenggang Jakarta. Lenggang Jakarta ini emang merupakan area food court di Monas yang punya banyak menu terutama makanan khas Indonesia.

Di sini aku memesan Ketoprak yang merupakan salah satu makanan khas Indonesia yang sangat terkenal di Jakarta. Ketoprak ini terbuat dari ketupat, tahu, bihun, touge, telur rebus dan disiram kuah kacang. Rasanya mantap cuy, walau harganya juga lumayan mantap sih, Rp. 20.000 perporsi.
Sepiring ketoprak

Bus Damri ke Halim Perdana Kusuma

Selesai mengisi perut, aku pun berjalan ke Stasiun Gambir karena aku akan menuju bandara. Sesampainya di loket Damri, aku pun segera memesan tiket.

“Mbak, tiket ke Halimnya satu.”

“Maaf Mas, kita nggak menyediakan bus ke Halim.” Jawab si mbak.

“ Jadi kalo mau ke Halim, naiknya dari mana mbak?”

“ kita emang nggak punya bus yang tujuan Halim Mas.”

“ Serius Mbak?”

“ Dua ciyus malah.”

Asem lah. Padahal di situs-situs yang membahas tiket katanya ada bus dari dari Gambir ke Halim. Tapi kenyataannya malah kagak ada. Dasar situs pembohong. Aghhh... Kesel rasanya.

Segera aku memutar otak, waktu yang ku punya nggak begitu banyak dan jarak dari Gambir ke Halim juga cukup jauh. Jika naik Transjakarta, bakal ribet nyari rutenya lagi. Jadi pilihan terbaiknya adalah naik motornya abang ojol. Syukurnya orderanku segera diterima si abang ojol.

Brmmm... Brmm...

Akhirnya setengah jam sebelum waktu chek in, nyampe juga di Halim Perdana Kusuma. Sumpah, Gambir ke Halim naik motor itu kerasa banget jauhnya, apalagi ada banyak kemacetan yang dilalui dan juga ada kejadian motor abang ojol hampir disenggol kendaraan lain.

 Ahh.. capek rasanya cuy.
Nyampe juga di Halim Perdana Kusuma

Jumat, 27 Maret 2020

Mengunjungi Museum Perumusan Naskah Proklamasi

Hai sahabat backpacker...

Setelah aku selesai membayangkan tentang peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia di Taman Proklamasi Indonesia, aku pun melanjutkan petualangan di Ibu Kota ini. Tujuanku selanjutnya adalah Museum Perumusan Naskah Proklamasi yang masih berhubungan erat dengan peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Berhubung kagak ada keliatan bus yang lewat dari Taman Proklamasi ini, lagi-lagi pilihanku adalah naik motornya abang ojol untuk mengantarkan ku ke museum tersebut.

“Ayok bang! Let's go.”

Brrmm... Brmmm...

Alamat Museum Perumusan Naskah Proklamasi

Tak begitu jauh dari Taman Proklamasi, palingan cuma sekitar 7 menit doang dari Taman Proklamasi, aku pun sampe di pintu masuk Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Museum ini beralamat di Jalan Imam Bonjol, No. 1, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Letaknya nggak begitu jauh dari Monas dan Bundaran HI.
Museum Perumusan Naskah Proklamasi
Sejarah Museum Perumusan Naskah Proklamasi

Gedung museum ini pertama kali dibangun pada tahun 1920 dengan gaya arsitektur Eropa dan dikelola oleh PT. Asuransi Jiwasraya. Selanjutnya gedung ini diambil alih oleh Konsulat Inggris pada saat Perang Pasifik dan kemudian dimiliki oleh Jepang ketika mereka menjajah Indonesia dan menjadi rumah tinggal Laksamana Muda Tadashi Maeda. Setelah masa kemerdekaan, gedung ini beralih-alih kepemilikan, seperti Markas Tentara Inggris, dikontrak Konsulat Inggris, kemudian dijadikan perkantoran Perpustakaan Nasional hingga pada tahun 1992 gedung ini dijadikan Museum Perumusan Naskah Proklamasi karena menjadi tempat yang sangat bersejarah bagi kemerdekaan Indonesia.
Gedung Museum Perumusan Naskah Proklamasi

Koleksi Museum dan Sejarah Perumusan Naskah Proklamasi

Tiket masuk ke museum ini cuma Rp. 2000 aja. Murah banget cuy, beli jajanan aja segitu kagak kenyang. Setelah membeli tiket yang super murah dan menitipkan ransel yang mulai terasa berat, aku pun mulai menjelajahi gedung saksi sejarah perumusan naskah proklamasi ini.
Jam buka dan harga tiket masuk museum
Bagian pertamanya adalah ruang Pra-perumusan Naskah Proklamasi. Ruang ini adalah ruang tamu yang digunakan Laksamana Maeda menemui tokoh-tokoh proklamasi dan memberitahukan bahwa Jepang terikat perjanjian atas status quo Indonesia. Oleh karena itu beliau memutuskan untuk tidak ikut campur, dan mengundurkan diri ke dalam kamarnya di lantai atas. Namun tetap mengizinkan kediamannya digunakan untuk membahas kemerdekaan Indonesia.
Ruang Pra-perumusan Naskah Proklamasi
 Di ruangan selanjutnya terdapat patung diorama yang menggambarkan kisah ketika Soekarno, Hatta dan Ahmad Soebardjo menyusun draft naskah proklamasi. Naskah tersebut ditulis tangan oleh Soekarno, sedangkan Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan.
Soekarno, Hatta dan Ahmad Soebardjo merumuskam naskah proklamasi

Draft naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia
Setelah selesai, naskah tersebut kemudian dibacakan di hadapan tokoh-tokoh yang hadir dan mereka menerima draft naskah tersebut dengan suara bulat. Naskah tersebut kemudian diketik oleh Sayuti Melik di Ruang Pengetikan Naskah Proklamasi dan ditemani oleh B.M Diah.
Pengetikan naskah proklamasi oleh Sayuti Melik ditemani B.M Diah
Setelah itu sempat terjadi perdebatan tentang siapa yang akan menandatangani naskah proklamasi kemerdekaan tersebut. Kemudian Soekarni maju dan memberikan pendapat agar naskah tersebut ditandatangani oleh Soekarno-Hatta dengan atas nama Bangsa Indonesia. Usul ini diterima secara bulat oleh para tokoh yang hadir dengan tepuk tangan.
Ruangan para tokoh menanti naskah proklamasi

Para tokoh yang hadir
 Soekarno dan Hatta pun menandangani naskah proklamasi kemerdekan tersebut di atas piano hitam yang ada di dekat tangga. Dengan demikian, selesailah perumusan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dirumuskan pada malam menjelang subuh hari tersebut dan keesokan harinya dibacakan di halaman rumah Soekarno, di Jalan Pegangsaan Timur, No. 56 yang sekarang menjadi Taman Proklamasi Indonesia.
Piano di dekat tangga
Selain koleksi tersebut, di dalam museum ini juga masih banyak koleksi lainnya yang masih berhubungan ama kejadian Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Di bagian belakang terdapat perpustakaan kecil dengan koleksi buku-buku sejarah dan museum. Sedangkan di lantai 2 nya terdapat berbagai macam barang koleksi milik tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia. Di sini juga ada salinan teks proklamasi hingga kaset dan piringan hitam yang merekam pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Bagian belakang museum

Ada perpustakaan kecil

Kaset rekaman Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Piringan hitam yang merekam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Meski barang-barang  furnitur yang ada di museum ini hanya replika karena gedung museum ini sempat beralih-alih kepemilikan, namun museum ini sangat wajib dikunjungi agar kita tau perjuangan para tokoh kemerdekaan dalam menggapai kemerdekaan Indonesia sehingga kita sebagai generasi selanjutnya bisa menikmati nyamannya hidup di negara yang merdeka.

Merdeka!
Si ganteng yang unyu di Museum Perumusan Naskah Proklamasi

Senin, 23 Maret 2020

Sedihnya di Taman Proklamasi Indonesia

Brmmm.... Brmmm...

Kayak gitulah kira-kira bunyi motor si abang ojol yang kunaiki saat ia membelah jalanan pagi di Ibu Kota Jakarta ini untuk mengantarkanku dari Stasiun Pasar Senen menuju tempat tujuanku. Tak lama, palingan cuma 20 menit, aku pun tiba di tempat tujuanku, yaitu Taman Proklamasi Indonesia, salah satu tempat paling bersejarah bagi kemerdekaan negara Indonesia.
Taman Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Alamat Taman Proklamasi

Taman Proklamasi ini beralamat di Jalan Proklamasi, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Nggak jauh-jauh amat dari Monas dan Bundaran HI. Dulunya sih tempat ini beralamat di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Tapi sekarang udah diganti nama jalannya menjadi Jalan Proklamasi.

Sejarah dan Lanskap Taman Proklamasi

Setelah mengucapkan salam dan izin untuk masuk ke dalam taman pada dua bapak-bapak yang ada di dekat pintu masuk taman, aku pun segera menjelajahi taman kecil ini sambil memproyeksikan imajinasiku akan kejadian proklamasi Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang lalu.

Monumen Pahlawan Proklamator Soekarno - Hatta

Begitu memasuki taman, yang paling mencolok dan menarik perhatian adalah dua patung perunggu Soekarno dan Mohammad Hatta berukuran besar yang berdiri sejajar di sudut taman. Posisi dua patung tersebut mirip ama posisi di foto ketika naskah proklamasi Indonesia dibacakan. Di antara kedua patung itu ada juga patung naskah proklamasi yang terbuat dari lempengan batu marmer hitam yang isinya mirip ama ketikan naskah proklamasi yang asli.

Patung dua proklamator ini diresmikan pada 17 Agustus 1980 oleh Presiden Soeharto. Di belakang patung ini ada 17 pilar dan yang tertinggi berukuran 8 meter serta di sela-selanya terdapat 45 tonjolan yang berarti 17-8-45. Sedangkan di latar naskah proklamasi terdapat 5 pilar yang melambangkan Pancasila.
Patung tokoh proklamator

Monumen Proklamasi

Patung naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia

Tugu Petir

Tapi sebenarnya posisi dua patung proklamator ini bukan posisi sebenarnya saat kejadian proklamasi tersebut. Karena saat proklamasi dibacakan, Soekarno dan Hatta membacakan naskah proklamasi tersebut dari teras rumah Soekarno. Tapi sekarang rumah itu udah nggak ada lagi sejak tahun 1960, udah dibongkar. Sayang banget sih.

Sekarang di posisi pembacaan naskah proklamasi tersebut dibangun sebuah tugu yang bernama Tugu Petir karena di ujung tugunya ada logo petir. Di badan tugu itu ada plakat logam yang bertuliskan “ Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta”. Tugu ini dibangun pada tahun 1961 dan Soekarno sendiri yang melakukan pencangkulan pertamanya.
Tugu Petir

Plakat logam di Tugu Petir
Di depan tugu ini aku pun sempat mengheningkan cipta, mendoakan arwah para pejuang kemerdekaan dan berterima kasih karena atas perjuangan mereka, aku bisa merasakan nikmatnya hidup di atas negara yang merdeka. Di depan tugu ini juga aku membayangkan detik-detik proklamasi yang terjadi pada 17 Agustus 1945 tersebut. Entah mengapa rasanya cukup merinding juga membayangkan perjuangan mereka untuk menggapai kemerdekaan ini dan kontrasnya perpecahan yang terjadi pada negeri Indonesia tercinta di saat sekarang ini. Ah.. mungkin mereka akan kecewa melihat kita.

Tugu Peringatan Satu Tahun Kemerdekaan

Di taman ini juga ada satu tugu kecil yang berbentuk tugu obelisk. Tugu ini merupakan Tugu Peringatan Satu Tahun Kemerdekaan Indonesia yang dibangun oleh persatuan wanita Indonesia pada tahun 1946. Tugu ini sempat dihancurkan pada masa pemerintahan Soekarno dan dibangun kembali pada tahun 1972 oleh Gubernur Jakarta, Ali Sadikin.
Tugu Peringatan Satu Tahun Kemerdekaan
Selain tugu dan monumen, taman ini juga cukup hijau karena ada banyak pepohonan dan tanaman bunga yang tersebar di seluruh penjuru taman. Jadi cukup asri dan adem di tengah panasnya Kota Jakarta.
Bunga dan pepohonan di Taman Proklamasi
Tapi sebagai salah satu tempat paling bersejarah bagi kemerdekaan Indonesia, tempat ini terasa tidak ada yang spesial. Mungkin karena tempat ini tidak begitu dikenal, bahkan mungkin banyak yang tidak tau akan taman ini.

Selain itu, bangunan sejarah seperti rumah Soekarno juga sudah tidak ada lagi dan posisi patung yang tidak berada di tempat yang sesungguhnya membuat aura sakral kemerdekaan itu terasa begitu redup. Seolah-olah taman ini hanya taman biasa yang dimanfaatkan masyarakat untuk ngadem doang.

Aku jadi teringat saat berkunjung ke Monumen Jose Rizal, di Rizal Park, Manila. Di sana monumennya dijaga 2 tentara setiap harinya, dikelilingi bendera-bendera Filipina dan dan menjadi tempat yang sangat terkenal bahkan menjadi daftar yang wajib dikunjungi saat liburan ke sana sehingga terasa banget aura sejarahnya.

Sungguh miris rasanya melihat perbedaan dengan tempat ini. Sedih juga rasanya. Aku paham sih kalo objek wisata sejarah itu emang nggak menarik, tapi paling tidak untuk sejarah penting seperti sejarah kemerdekaan ini kita harus mengetahuinya.

Ah... Sedih rasanya.
Akhirnya sampe juga di tempat bersejarah ini

Jumat, 20 Maret 2020

Bakpia Pathok, 0 Kilometer dan si Dia

Hai sahabat backpacker....

Gimana kabarnya? Semoga sehat selalu ya, aamiin...

Maaf ya lama kagak update, soalnya beberapa hari ini sibuk ngurusin refund. Seharusnya beberapa hari ini aku traveling ke Malaysia karena kemarin dapat tiket liburan gratis ke sana. Tapi dengan kondisi yang seperti ini dan Kuala Lumpur yang di lock down, ambyar deh rencana travelingnya.

Jadi, sekarang deh bisa lanjut update, maaf ya kawan-kawan.

Setelah sebelumnya aku menikmati kerennya Museum Benteng Vredeburg, aku kemudian memutuskan untuk membeli oleh-oleh untuk orang-orang di rumah. Setelah mencari-cari informasi, katanya salah satu oleh-oleh khas dari Jogja adalah Bakpia Pathok. Oleh karena itu, aku pun memutuskan untuk membeli kue tersebut.

Brmm... Brmm....

Bakpia Pathok 25

Aku membeli kue Bakpia Pathok di Bakpia Pathok 25 yang ada di Jalan AIP KS Tubun, Yogyakarta. Sebenarnya di sini ada banyak jenis kue untuk oleh-oleh. Tapi aku cuma beli Bakpia Pathok saja. Bakpia Pathoknya pun punya banyak variasi rasa. Namun yang paling enak menurutku adalah varian rasa kacang ijo. Bakpianya lembut banget cuy. Hm.. nyummi...

Satu kotaknya berisi sekitar 15 biji. Aku pun beli tiga kotak dengan harga Rp. 105.000, alias satu kotaknya Rp. 35.000. oh ya, aku lupa motoin bakpianya, pas udah abis baru keinget. 😂
Bakpia Pathok 25
0 Kilometer

Setelah selesai dengan urusan oleh-oleh, aku berencana untuk menghabiskan sore sambil menunggu jadwal keberangkatan kereta api ku di 0 KM Jogja. Dan saat itu pula lah hp ku berbunyi menandakan ada satu pesan masuk di messenger.

“Kak, kamu masih di Jogja? Ketemuan yuk.” Begitu isi pesan tersebut dan pengirimnya adalah, ehem.. mantan.

“ masih kok. Ketemuan di 0 KM aja ya, kakak juga mau ke sana.” Balasku setelah memikir sesaat dan melihat kembali hati, ternyata aman. Udah move on. 😁

“ Ok deh, bentar lagi otw nih kak.”

“ Siip.. 👍.” Balasku singkat.

Tak begitu lama, aku pun kembali ke 0 KM Jogja. Tempat ini menurutku emang asyik banget buat nongkrong ngabisin waktu di sore hari. Ada banyak kursi-kursi yang tersedia mulai dari Jalan Malioboro sampe titik 0 Kilometernya. Kursinya ada yang berupa kursi kayu maupun kursi batu bulat. Di sekitarnya juga banyak pohon-pohon yang rindang, jadinya adem deh suasananya.

Udah gitu, katanya suasana 0 KM ini mirip ama Eropa gitu, tapi katanya sih, soalnya aku belum pernah ke Eropa. Tapi pemandangan di sekitarnya emang cakep sih, ada banyak lampu-lampu taman di pedestriannnya, terus di sekitarnya ada gedung-gedung peninggalan masa kolonial seperti gedung kantor pos, gedung bank BNI dan gedung Bank Indonesia yang mengapit jalan menuju alun-alun. Semakin sore, suasana di 0 KM ini makin rame dan makin meriah.
Gedung Kantor Pos dan Gedung Bank Indonesia

Suasana 0 KM kala malam menjelang

Gedung Bank BNI dari 0 KM Yogyakarta

Gedung Agung


Selain tiga bangunan peninggalan kolonial tadi, di samping 0 KM ini juga ada Gedung Agung Yogyakarta. Gedung ini dibangun pada Mei 1824 oleh pihak kolonial sebagai tempat tinggal Residen Belanda. Ketika pusat pemerintahan Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta, gedung ini menjadi Istana Kepresidenan dan menjadi tempat tinggal Presiden Soekarno.

Saat ini, Gedung Agung masih difungsikan sebagai Istana Kepresidenan yaitu sebagai kantor dan tempat tinggal presiden ketika berkunjung di Yogyakarta serta untuk menerima tamu-tamu negara. Sekarang, Gedung Agung juga dibuka untuk umum setiap hari senin sampe sabtu dari jam 8 pagi sampe jam 3 sore. Sayangnya aku ke sini udah jam 4 lebih, jadi kagak bisa masuk lagi. Asem. 
Geudng Agung Yogyakarta

Monumen Batik

Di 0 Kilometer ini juga ada satu monumen yang sangat bagus, yaitu Monumen Batik. Pada monumen ini tertulis bahwa pada tahun 2009 Batik Indonesia ditetapkan UNESCO sebagai “Warisan Budaya Tak Benda” dan pada tahun 2014 Yogyakarta dikukuhkan sebagai “ Kota Batik Dunia”. Keren banget cuy.
Monumen Batik
Monumen Serangan Umum 1 Maret

Di sisi yang berseberangan dengan Monumen Batik, ada Monumen Serangan Umum 1 Maret. Monumen ini dibangun untuk memperingati serangan tentara Indonesia terhadap Belanda pada 1 Maret 1949. Saat itu ketika negara Indonesia dianggap telah lumpuh, bahkan tidak ada oleh Belanda, serangan umum ini berhasil menduduki Yogyakarta selama 6 jam dan hal tersebut berhasil menaikkan moral para pejuang dan mematahkan propoganda Belanda. Keren banget cuy.
Monumen Serangan Umum 1 Maret
Ehem.. mantan

Setelah menunggu cukup lama sambil duduk nyantai di 0 KM ini, akhirnya orang yang ngajak ketemuan tadi nongol juga. Namanya Afni, dan dia ini ehem.. mantanku dulu saat masih SMA. Tapi sekarang udah move on kok. Rasa yang tinggal di dalam hati pun adalah rasa terima kasih, karena pernah menjadi warna di kehidupan SMA ku dan membuatku bisa berfikir untuk lebih dewasa lagi. Aceile... 😂

Tapi... Emang lebih cakep yang sekarang sih nih anaknya. Wkwkwkwk...

Kami berdua kemudian ngobrol-ngobrol santai di sana, bersama temaram senja. Bercerita kegiatan sehari-hari saat ini seperti kisahnya yang melanjutkan S2 di UGM dan kegiatan travelingku yang nggak jelas ntah kemana-mana. 😂

Kami juga bercerita tentang kabar dari orang-orang yang kami kenal dulu saat sekolah. Yupz... Kami bercerita sebagai teman yang telah lama tak bertemu dan akhirnya berjumpa lagi di tanah yang jauh dari kampung halaman.

Ketika hari semakin gelap dan senja semakin hilang, kami berdua pun berpisah, karena aku harus melanjutkan perjalanan ke Stasiun Lempuyangan untuk menuju destinasiku yang selanjutnya.
Stasiun Lempuyangan
Sampai jumpa lagi mantan.

Sampai jumpa lagi Jogja.
Ganteng juga berfoto di 0 Klometer ini

Jumat, 06 Maret 2020

Menatap Diorama di Museum Benteng Vredeburg

Tap... Tap... Tap...

Aku melangkah cepat menghindari sengatan matahari yang cukup terik siang ini melewati Gapura Pangurakan menuju 0 Kilometer Jogja setelah sebelumnya mengunjungi Museum Sonobudoyo. Sekarang tujuanku adalah Benteng Vredeburg yang letaknya nggak jauh dari 0 KM tersebut. Sebenarnya kemarin sore aku udah ngedatangi museum ini, tapi karena terlalu sore, museumnya udah mau tutup. Akhirnya hari ini deh baru aku ngunjunginnya lagi.
Museum Benteng Vredeburg
Lokasi Benteng Vredeburg

Benteng Vredeburg ini beralamat di Jalan Margo Mulyo, Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta. Benteng ini terletak tidak jauh dari 0 KM, Pasar Beringharjo, Taman Pintar, dan Gedung Agung.

Sejarah Benteng Vredeburg

Benteng Vredeburg ini mulai dibangun sejak tahun 1760-an oleh pihak Belanda atas seizin Sultan Hamengku Buwono I. Awalnya benteng ini cukup sederhana dengan bentuk bujur sangkar dan dinding terbuat dari tanah liat yang diperkuat tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren dan di empat sudutnya dilengkapi tempat penjagaan.

Karena terlalu sederhana, pihak Belanda meminta izin untuk memperkuat benteng menjadi bangunan permanen demi alasan keamanan. Katanya sih, padahal mah bentengnya buat nunjukin kekuasaan. Setelah selesai bangunan benteng tersebut dinamain Benteng Rustenburg yang berarti Benteng Peristirahatan.

Ketika gempa besar melanda Jogja di tahun 1867, benteng ini mengalami kerusakan sehingga dibangun kembali. Di dalamnya juga dilengkapi barak prajurit, gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Nama benteng ini pun diubah menjadi Benteng Vredeburg yang berarti benteng perdamaian, sebagai bukti tidak saling serang antara Belanda dengan Kesultanan.

Benteng ini sempat berganti-ganti kepemilikan, mulai dari VOC, Kerajaan Belanda, Inggris, Jepang, hingga Republik Indonesia. Meskipun demikian, tanah tempat benteng ini berdiri secara sah tetap milik Kesultanan Yogyakarta. Ya sama sih kayak raga ini, walau terkadang dimiliki orang-orang berbeda, tapi hatinya masih tetap miliki mu.

Wkwkwkwkwkwk #bucin

Padahal mah jomblo. 😂

Saat ini Benteng Vredeburg telah diakui sebagai salah satu bangunan cagar budaya dan kini difungsikan sebagai museum yang bisa dikunjungi oleh masyarakat umum.

Koleksi Museum Benteng Vredeburg

Setelah membeli tiket masuknya yang cuma Rp. 3000 saja perorang. Murah banget cuy. Aku pun segera masuk ke dalam benteng dan mulai menjelahi bangunan bersejarah ini. Di depan pintu gerbangnya terdapat plang penunjuk arah dari bagian-bagian bangunan benteng ini.
Plang penunjuk arah

Halaman Benteng Vredeburg

Patung pahlawan di halaman benteng
Aku pun memasuki satu demi satu ruangan museumnya. Ada satu hal menarik dari cara museum ini menampilkan kisah sejarah, yaitu museum ini menampilkan kisah sejarah bukan dengan cara memamerkan koleksi benda-benda bersejarah saja namun kebanyakan berupa diorama dan minidiorama yang menceritakan berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di sekitar Yogyakarta seperti diorama perang gerilya, sejarah Pangeran Diponegoro, sejarah pergerakan nasional seperti berdirinya Taman Siswa, Muhammadiyah hingga peristiwa-peristiwa bersejarah lainnya.
Diorama perang gerilya

Koleksi minidiorama

Diorama perjuangan Pangeran Diponegoro

Diorama berdirinya Taman Siswa

Diorama-diorama ini mengingatkanku pada museum di Monumen Nasional yang menampilkan diorama-diorama juga.

Selain diorama, katanya museum ini juga menampilkan koleksi berupa benda-benda peninggalan bersejarah. Namun saat aku berkunjung, ruangannya lagi direnovasi, jadi kagak keliatan deh. Selain itu aku juga nemuin ruang audiovisual di lantai dua yang menampilkan film-film sejarah dan perjuangan, tapi ruangannya juga tutup.
 -_-“.
Koleksi museum
Akhirnya aku memilih naik ke atas benteng, dari atas seru juga sih, bisa ngeliatin 0 KM Jogja dari ketinggian, tapi karena cuaca yang lagi terik, aku nggak berlama-lama di atas, takut item ntar.
Pemandangan dari atas benteng

Moto orang nggak dikenal
Setelah selesai menjelajahi setiap bagian Museum Benteng Vredeburg ini, aku pun segera keluar dari benteng. Rencananya sih aku mau beli oleh-oleh, lalu kemudian menunggu jadwal keberangkatan kereta api di 0 KM. Sepertinya asyik juga.

Ting...

Tiba-tiba terdengar suara notifikasi di hpku yang menandakan ada pesan yang masuk di Messenger. Segera aku membukanya.

kak, kamu masih di Jogja? Ketemuan yuk!

Bersambung.... 
Aku dan Museum Benteng Vredeburg