Selasa, 17 Januari 2017

Pantai Janggawari, Pantai Tiga Rupa di Asahan



Pantai Janggawari
Yo Sobat Backpack Sejarah, rasanya udah lama juga aku, si cowok ganteng ini nggak pulang ke kampung halamanku yang ada di plosok Asahan sana. So... dalam kesempatan libur kali ini aku pun menyempatkan diri untuk pulang sejenak. Kalo nggak, ntar malah dikira Bang Toyib pulak yang nggak pulang-pulang. Hahahaha....

Dalam libur kali ini aku dapat informasi kalo sekarang ada beberapa objek wisata baru di sekitar kampung ku. Wow.... kalo kayak gini kan jadi mudah buat liburan nih dan bisa eksplore wisata kampung sendiri. Jadi dengan semangat yang membara dan menggebu-gebu aku pun menyusun jadwal jalan-jalan di antara jadwalku yang padat. #SokSibuk #PadahalPengangguran.

Objek wisata pertama yang mau ku kunjungi adalah Pantai Pasir Putih Janggawari yang kusingkat Pantai Jangga, soalnya nama nih pantai kepanjangan, susah ngetiknya.

Lokasi Pantai

Alasan pantai ini jadi yang pertama ku datangi adalah karena pantai ini lokasinya sangat dekat dari rumahku. Cuma di desa sebelah yang kalo naik kereta (baca:motor) paling hanya 15 menit aja dan kalo guling-guling paling juga masuk parit. Hahaha...

Pantai ini tepatnya berada di Dusun Janggawari yang masuk dalam wilayah Desa Silau Baru, Kecamatan Silau Laut, Kabupaten Asahan.
Penunjuk arah sederhana
Setelah mengajak sepupu-sepupuku untuk berangkat bareng, kami pun berangkat menuju pantai. Cusss... Karena ini adalah pantai yang baru dibuka sebagai objek wisata, jadi kondisi jalannya pun masih seadanya dan kondisi lapangan parkirnya juga masih apa adanya. Dari parkiran kami masih harus jalan kaki sekitar 5 menit melalui hutan bakau.
Jalan kaki dari parkiran cuy
Tapi ini sudah lumayan, soalnya kata sepupuku, Si Wahyu, Si Daus dan Si Tuah, sebelum ada jalan ini, mereka dan teman-teman sekolahnya biasanya melalui jalur lumpur biar nyampe ke pantai ini. Busyet deh, keliatan banget kurang pikniknya, hahaha... tapi gara-gara itu penduduk setempat berinisiatif membuka jalan menuju pantai ini. Terima kasih buat kalian, kalian luar biasa.

Pantai Tiga Rupa

Setelah jalan kaki sebentar, akhirnya nyampe juga ke Pantai Jangga. Pantainya sendiri khas pantai di Pesisir Timur Pulau Sumatera dengan airnya yang nggak biru toska tapi keruh dan cenderung berlumpur. Jadi kalo untuk maen air mah nggak bakal enak. Kondisi ini emang udah khas pantai-pantai di Pesisir Timur Pulau Sumatera sih, soalnya kondisi dasar lautnya memang lebih berlumpur gitu, bukan terumbu karang.

Tapi bukan berarti pantai ini nggak punya sisi eksotisnya lho. Malah menurutku keeksotisan pantai ini jarang ada di pantai lain, keseksotisannya yaitu pantainya punya tiga sisi lanskap yang berbeda.

Sisi yang pertama berada tepat di pintu masuk pantai, sisi ini punya lanskap berupa dataran pasir terbuka dengan pasir kasar bercampur kulit kerang.
Pantai dengan lanskap daratan terbuka
Sisi yang kedua berada di bagian tengah, sisi ini punya pemandangan berupa hutan mati, jadi di sini banyak batang-batang pohon mati yang masih berdiri. Pasir di bagian ini masih terasa kasar tapi tidak bercampur dengan kulit kerang.
Pantai hutan mati
Sisi yang ketiga berada di bagian ujung pantai, sisi ini dihiasi berbagai pepohonan rindang nan sejuk. Pasir di bagian ini juga paling lembut dan tidak bercampur dengan kulit kerang.
Pantai adem
Gimana?
Keren banget kan?

Satu pantai tapi punya tiga rupa berbeda. Oh ya, di ujung pantai ini juga terlihat samar-samar Pulau Salah Namo. Selain itu terlihat juga banyak burung-burung bangau yang lagi mencari makan. Melihat bangau-bangau itu makan aku juga jadi laper. So... saatnya buka bontot dan makan bersama. Nyam..nyam... nikmat banget ah makan di pantai bareng-bareng gini, jangan ngiler ya sobat backpack sejarah. Hahaha....
Makan bareng saudara
cowok ganteng menikmati pantai

Senin, 09 Januari 2017

Masjid Raya Stabat



Brmmm.... Brmmm...

Aku terus memacu kereta (baca: motor) ku dalam perjalanan pulang menuju Kota Medan setelah selesai dari perjalanan edisi menembus batas Sumatera Utara-Aceh dengan uang kurang dari 100 ribu. Setelah sebelumnya singgah di Masjid Azizi, Tanjungpura, Kabupaten Langkat. Akhirnya aku sampai juga di Kota Stabat, ibukota Kabupaten Langkat. Berhubung waktu ashar sudah hampir tiba, aku kemudian membelokkan kereta ke arah parkiran Masjid Raya Stabat.
Singgah dulu
 Skip skip

Masjid Raya Stabat
Masjid Raya Stabat merupakan salah satu masjid peninggalan bersejarah  yang ada di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara selain Masjid Raya Azizi yang ada di Tanjung Pura. Masjid ini juga merupakan masjid terbesar dan masjid utama di Kota Stabat, Kabupaten Langkat.
Masjid Raya Stabat
Lokasi Masjid Raya Stabat
          Masjid ini berada di Kota Stabat, ibukota Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Tepatnya di sisi Sungai Wampu dan berada di pinggir Jalan Lintas Sumatera, Medan-Banda Aceh sebelum Jembatan Stabat. Kalo dari Medan masjidnya ada di sebelah kiri.

Sejarah Masjid Raya Stabat
Masjid ini dibangun dua tahun setelah pembangunan Masjid Azizi di Tanjung Pura, tepatnya mulai dikerjakan pembangunannya pada tahun 1904 semasa Kejuruan Stabat T HM Khalid.

Pada awal pembangunan, masjid ini hanya terdiri dari bangunan induk seluas 20 meter persegi delapan, ditambah teras dua meter keliling dan satu buah menara masjid. Saat itu jama’ah yang dapat ditampung hanya berkisar 300 orang.

Tapi sekarang Masjid Raya Stabat ini telah berkembang pesat, luas areal masjidnya saat ini menjadi 4.454 meter persegi dengan daya tampung mencapai 1350 jamaah. Fasilitas masjid juga dikembangkan seperti bangunan whudu’ wanita, perpustakaan masjid dan aula.

Arsitektur Masjid Raya Stabat
Masjid Raya Stabat ini memiliki arsitektur dengan corak Melayu Langkat yang khas yang terlihat dari warna masjidnya yang didominasi warna kuning dan hijau, warna kebesaran suku Melayu. Pada bagian kubah, kubah masjid ini terlihat menonjol yang menunjukkan ciri khas bangunan Melayu Langkat. Di bagian luar, terdapat pula lebih dari 100 tiang penyangga masjid untuk menahan bangunan masjid.
Tiang penyangga masjid di bagian teras
Pada bagian dalam masjid terlihat beberapa kaligrafi dari ayat-ayat suci Al-Qur’an. Selain itu juga terdapat beberapa corak lain yang khas. Sedangkan mimbar masjid ini menurut ku terlihat mirip dengan mimbar masjid di Masjid Azizi. 
Bagian dalam masjid dan mimbarnya
Kubah masjid bagian dalam
Puas mengagumi keindahan arsitektur masjid bersejarah ini, sholat ashar juga udah beres, aku pun melanjutkan perjalanan menuju Kota Medan dan berharap tidak sampe kemalaman. Akhirnya pukul 17.30 WIB aku sampe juga di sarang ternyaman, kost ku.

Gilak!

Rasanya pegal-pegal juga nih badan setelah seharian naik kereta menempuh jarak ratusan kilometer dari Kota Medan hingga Kota Kuala Simpang di Aceh Tamiang, dari Sumatera Utara hingga Provinsi Aceh. Dan gimana dengan kondisi keuangan kita? Ternyata cukup bahkan masih berlebih. Ini dia rincian biayanya.

Bensin dua kali ngisi Rp. 33.000
Makan Siang            Rp. 12.000
Pisang Sale              Rp. 10.000
            Total                        Rp. 55.000

Artinya dari duit Rp. 100.000 yang kubawa masih tersisa duit Rp. 45.000 lagi, siipppp... mantap. Masih bisa makan enak. Hahahaha....

So... dengan ini selesai deh perjalanan ku menembus batas Sumatera Utara-Aceh dengan uang kurang dari 100 ribu dan dengan destinasi yang bisa ku kunjungi yaitu PerbatasanSumut-Aceh, Istana Karang, Istana Benua Raja, Masjid Azizi, Makam Tengku AmirHamzah dan Masjid Raya Stabat. Sampai ketemu di cerita perjalanan selanjutnya kawan backpack sejarah.

Sabtu, 07 Januari 2017

Makam Tengku Amir Hamzah di Tanjung Pura



Makam Tengku Amir Hamzah
Yo sobat Backpack Sejarah, gimana kabar kalian hari ini? semoga baik-baik aja ya, amin... Kali ini aku ingin melanjutin cerita tentang edisi petualanganku menembus batasSumatera Utara-Aceh dengan uang kurang dari 100 ribu yang kemarin ku posting bulan Desember 2016.

Ya ampun... udah satu tahun nggak selesai mosting ceritanya gara-gara kemarin sibuk dan kehabisan kuota, sebagai travel blogger aku merasa gagal. Hiks... hiks... Tapi kali ini akan ku selesain kok, soalnya cuma tinggal 2 cerita lagi. Kalo nggak selesai juga, udah kurang ajar tuh namanya.

Nah, di postingan sebelumnya yang berjudul Masjid Azizi Tanjungpura, Masjid Kebanggaan Masyarakat Langkat, aku udah katakan bahwa di dalam komplek Masjid Azizi ini juga terdapat makam-makam dari pihak keluarga Kesultanan Melayu Langkat. Di sini juga merupakan lokasi pemakaman Tengku Amir Hamzah.
komplek pemakaman di sebelah Masjid Azizi
 Makam Tengku Amir Hamzah
Makam Tengku Amir Hamzah ini berada di tengah komplek pemakaman keluarga Kesultanan Melayu Langkat, makamnya telihat seperti makam-makam yang lain dengan nisan berwarna putih. Yang membedakan, di dekat makamnya terdapat sebuah batu prasasti berwarna kuning yang betuliskan “Pusara Pahlawan Nasional T. Amir Hamzah”.
Makam Tengku Amir Hamzah
Tengku Amir Hamzah

Emang siapa sih Tengku Amir Hamzah itu?

Jadi gini cuy, Tengku Amir Hamzah adalah salah satu pahlawan nasional yang berasal dari Sumatera Utara tepatnya dari Kabupaten Langkat. Beliau dilahirkan pada 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, Langkat. Tengku Amir Hamzah ini berasal dari keluarga bangsawan Kesultanan Langkat.

Hal tersebut pula lah yang kemudian membuat beliau bisa bersekolah di Mulo Batavia, kemudian beliau melanjutkan sekolah di AMS Solo dan lalu kembali ke Batavia untuk belajar hukum di Sekolah Hakim Tinggi hingga akhirnya meraih gelar Sarjana Muda Hukum. Meski berlatar belakang pendidikannya adalah di bidang hukum, tetapi posisinya sebagai putra bangsawan Kesultanan Langkat membawa Tengku Amir Hamzah masuk ke dalam lingkaran sastrawan.

Bahkan dalam karir sastranya, secara keseluruhan ada sekitar 160 karya Tengku Amir Hamzah yang berhasil dicatat. Di antaranya 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli dan 1 prosa terjemahan. Karya-karyanya tercatat dalam kumpulan sajak Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, Setanggi Timur dan terjemah Baghawat Gita.

Tengku Amir Hamzah pun berprestasi cukup besar di dunia sastra dengan membawa kesusastraan Indonesia memasuki era baru, era pujangga baru bersama Armjn Pane dan St. Takdir Alisjahbana. Mereka bertiga merintis majalah Pujangga Baru. Oleh sebab itu, bahkan HB Jassin menjulukinya “Raja Penyair Pujangga Baru”. Keren banget deh julukannya.

Namun kisah hidup Tengku Amir Hamzah berakhir cukup tragis, beliau yang kembali ke Tanah Langkat atas perintah sultan untuk menikahi putri Sultan Langkat kemudian mendapat posisi penting di dalam Kesultanan Melayu Langkat, pada akhirnya tewas terbunuh dalam peristiwa berdarah revolusi sosial tahun 1946 yang juga menghapus eksitensi kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Mayat beliau ditemukan dalam kondisi terpenggal. Sungguh tragis.

Itulah sedikit kisah tentang Tengku Amir Hamzah, sastrawan terkenal dari Tanah Langkat, Sumatera Utara. Setelah dari sini aku kemudian melanjutkan perjalanan pulangku menuju Kota Medan, tapi sebelumnya aku bakal singgah di satu tempat lagi. Tetap tungguin ya.

Brmmm.... Brmmm....
Masjid Azizi Tanjung Pura

Rabu, 04 Januari 2017

Air Terjun Ponot Dari Sudut Pandang Yang Berbeda


Air Terjun Ponot

1 January

Libur tahun baru selalu banyak orang memanfaatin moment ini untuk jalan-jalan ke tempat wisata di mana pun itu. Terdengar asyik, tapi sayangnya aku adalah orang yang paling males jalan-jalan di saat libur tahun baru. Alasannya sih simpel aja, yang pertama aku masih ngantuk abis begadang jadi obat nyamuk orang-orang bermesaraan, eh... ngeliat pesta kembang api maksudku pada acara malam pergantian tahun. Dan yang kedua, semua objek wisata di saat libur tahun baru itu padet, penuh dan macet.
Pesta kembang api
Soalnya libur tahun baru itu kan rata-ratanya cuma 2 atau 3 hari, jadi semua orang memanfaatin libur yang singkat itu hingga membuat semua tempat wisata penuh. Tumpah deh semua orang di sana. Sumpah, bayangin keramaian seperti itu aja bikin kepalaku pusing. Pengen lambain tangan ke kamera, babay....

Tapi sakitnya, mamak (my bunda) malah ngajakin kami sekeluarga untuk ikut rombongan sepupuku yang mau berwisata ke Air Terjun Ponot. Sedikit informasi, Air Terjun Ponot adalah sebuah air terjun eksotis dengan ketinggian mencapai 100 meter dan memiliki tiga tingkatan air terjun. Saat kita berada di sekitar air terjun ini kita bisa merasakan sensasi hujan gerimis yang muncul akibat derasnya jatuhan Air Terjun Ponot.

Air Terjun Ponot ini lokasinya berada di Desa Tangga, Kecamatan Aek Songsongan, Kabupaten Asahan. Untuk menuju air terjun ini bisa ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam dari Kota Kisaran, pusat Kabupaten Asahan atau 4 jam dari rumahku yang ada di plosok Asahan sana. Yang jadi masalah, akses jalan menuju air terjun ini jalannya nggak begitu lebar, di sisi kanannya itu terdapat dinding batu dan sisi kirinya itu berupa jurang. So... kalo jalanan padat, udah bisa dipastiin bakal macet dan gak ada jalur alternatif lainnya. Mampus deh macet-macetan.

Tapi akhirnya aku ikut juga sih, soalnya sebagai anak yang berbakti, nggak baik menolak keinginan orang tua. Apalagi permintaan itu datangnya dari mamak untuk membonceng adik-adikku. Meski sebelum berangkat kepala ku udah pusing duluan sih ngebayangin macet dan masih ngantuk juga abis liat pesta kembang api di malam tahun baru. Tapi go juga, berangkat...

Setelah menempuh perjalanan selama 4 jam lebih naik kereta (baca:motor) rame-rame bareng keluarga besar, akhirnya kami nyampe juga di lokasi Air Terjun Ponot ini. Sebelum berpencar, aku udah nyaranin ama rombongan agar sebelum sore kita udah keluar dari lokasi air terjun dan usahain nggak usah mandi-mandi. Soalnya pengunjung di lokasi air terjunnya terlihat sudah sangat padat.

Dan yang paling padat adalah dari parkiran menuju titik air terjunnya. Itu tuh rame banget, sampe antri dan desak-desakkan. Seolah-olah di depan sana ada yang lagi bagi-bagi uang 1 milyar saking ramenya. Atau seperti ada konser gitu deh ramenya.
rame banget, ada apaan sih?
 Atau mereka tau kalo aku si cowok ganteng mau datang ke sini ya? Jadinya rame banget.

Hmmm... bisa jadi.

Sumpah, aku pun nggak nyangka bakal serame ini. Untuk menuju titik air terjunnya itu harus desak-desakan dan antri di jalur trekking yang sempit. Semua bau ketek dan bau kaki nyampur jadi satu.

So... aku si cowok ganteng ini pun mikir, kalo sepadat ini, pas nyampe di titik air terjunnya pasti juga padat dan hasil fotonya nggak bakal bagus. Bukan dapat foto berlatar air terjun tapi latarnya lautan manusia nih. Akhirnya aku merubah sudut pandang dan mencari view yang berbeda agar dapat hasil foto yang maksimal.

Dan taraaaa....
Ketemu sawah hijau
Di dekat lokasi parkir ada persawahan hijau yang cukup cantik dan orang-orang juga nggak ada yang melirik spot ini. Jadi aku coba-coba aja ambil foto. Ternyata hasilnya cukup lumayan dan aku suka. Malah menurutku view air terjun dari persawahan terlihat unik, soalnya pemandangan air terjun dengan foreground sungai dan bebatuan kan sudah biasa, tapi ini pemandangan air terjun dengan foreground persawahan hijau. Cantik!
Air Terjun dengan foreground sawah hijau
terlihat lebih unik dan eksotis
Dari kejadian ini aku mendapat sebuah pelajaran bahwa terkadang kita jangan hanya melihat sesuatu dari satu sudut, tapi lihatlah dari berbagai sudut, karena di sana terkadang kita bisa menemukan keindahan  yang berbeda. Mantap!
cowok ganteng ikut berfoto