Tampilkan postingan dengan label Danau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Danau. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Oktober 2025

Touring Part 5: Danau Singkarak, Danau Terbesar di Sumatera Barat

Danau Singkarak

Brrrrr... dingin cuy! 🌧

Di antara deru hujan aku kembali memacu Beamoy melintasi jalan lintas Kerinci–Solok setelah sempat berhenti sebentar di tepian Danau Di Atas. Dari sana, jalanan masih didominasi pemandangan indah berupa kebun teh Danau Kembar yang terhampar luas di kanan dan kiri jalan, dengan latar perbukitan hijau yang tampak samar tertutup kabut.

Andai saja cuaca tak semendung ini, pasti perjalanan ini akan jauh lebih sempurna. Daun-daun teh yang basah tertimpa sisa hujan berkilau memantulkan cahaya redup dari langit kelabu — pemandangan yang tetap menenangkan meski dinginnya menusuk tulang.

Tak lama kemudian aku sampai di sebuah pertigaan jalan: ke kiri menuju Kota Padang via Sitinjau Lauik, dan ke kanan menuju Kota Solok. Karena tujuanku hari ini adalah Danau Singkarak, tentu aku memilih belok ke kanan.

Brmmm... brmmm... Beamoy melaju lagi, menembus sisa kabut yang perlahan mulai menipis.

Kota Solok — Serambi Madinah di Lembah Hijau

Kota Solok merupakan sebuah kotamadya di Sumatera Barat, dulunya adalah ibu kota Kabupaten Solok sebelum dipindahkan ke Arosuka. Kota ini dijuluki “Kota Beras Serambi Madinah”. Julukan itu bukan tanpa alasan — selain dikenal sebagai penghasil beras berkualitas tinggi, masyarakat Solok juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan.

Begitu memasuki kota, suasana terasa lebih hidup. Bangunan rapi, jalanan cukup ramai, dan di kejauhan tampak pegunungan hijau yang mengelilinginya. Syukurlah, hujan sudah mulai reda dan hanya menyisakan sedikit mendung di langit. Aku pun bisa melepas mantel hujan yang sudah kupakai sejak dari Kerinci.

Udara masih dingin, tapi semangat touring kembali menghangat. Tak lama kemudian, akhirnya aku sampai di tempat yang sudah lama ingin kukunjungi...

Danau Singkarak

Danau Singkarak berada di antara Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Letaknya sangat strategis karena jalan raya Solok–Bukittinggi membentang tepat di tepi danau. Jadi, sepanjang perjalanan, mata dimanjakan oleh pemandangan air danau yang luas dan tenang, berpadu dengan barisan bukit yang mengelilinginya.

Air danau tampak berwarna jernih kehijauan dengan permukaan yang beriak halus tertiup angin. Sesekali terlihat perahu wisata bersandar di pinggir danau, sementara di beberapa titik terdapat jaring-jaring ikan terapung milik warga. 

Danau Singkarak
Perahu wisata di Danau Singkarak
Keramba ikan di Danau Singkarak

Dulu aku sering melihat Tour de Singkarak di televisi — ajang balap sepeda yang melintasi tepian danau ini. Saat itu aku cuma bisa membayangkan betapa indahnya pemandangan di sepanjang jalur ini. Dan sekarang, akhirnya aku melihatnya langsung di depan mata. Rasanya luar biasa!

Danau Singkarak sendiri merupakan danau tektonik terbesar di Sumatera Barat. Menurut penjelasan geologi, danau ini terbentuk akibat pergerakan Sesar Sumatera yang menyebabkan dasar permukaan bumi ambles dan membentuk cekungan besar. Karena itu, permukaan airnya terlihat dalam dan diapit oleh barisan pegunungan yang berdiri kokoh mengelilinginya. 

Danau Singkarak merupakan danau terbesar di Sumatera Barat
Pemandangan di tepian Danau Singkarak
Danau Singkarak dan perbukitan di sekelilingnya

Udara di sekitar danau terasa sejuk, bahkan sedikit dingin menusuk kulit. Di beberapa tempat, terlihat rumah-rumah panggung khas Minangkabau berdiri di pinggir jalan, sementara pepohonan pinus dan cemara menambah kesan alami di sekeliling danau. Aku lantas menyempatkan diri untuk berhenti sejenak di salah satu warung, menikmati sebutir kelapa muda sembari memandangi indahnya Danau Singkarak. 

Menikmati kelapa muda
Warung-warung di tepian Danau Singkarak

Setelah puas menikmati keindahan alam Singkarak, aku kembali bersiap melanjutkan perjalanan. Mesin dan ban si Beamoy yang sudah dingin kusiapkan lagi.

Brmmm... brmmm...

Gas kuy, lanjut ke Batusangkar dulu! 🚴

Beamoy dengan latar Danau Singkarak
Siganteng nan unyu di Danau Singkarak

🔖 Info Singkat: Danau Singkarak

  • Lokasi: Kabupaten Solok & Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat
  • Luas: ±108 km²
  • Kedalaman maksimum: ±268 meter
  • Asal usul: Danau tektonik akibat pergerakan Sesar Sumatera
  • Daya tarik: Pemandangan danau dari jalan raya dan jalur legendaris Tour de Singkarak 

Senin, 27 Oktober 2025

Touring Part 4: Danau Di Atas


Danau Di Atas

Yuhuuu... selamat pagi, kawan-kawan! 🌤

Pagi ini suasana di Perkebunan Kayu Aro begitu indah. Setelah semalam hujan deras mengguyur, hamparan kebun tehnya tampak segar dan berkilau tertimpa cahaya matahari pagi. Di kejauhan berdiri gagah Gunung Kerinci, gunung api tertinggi di Pulau Sumatera. Bagian puncaknya sedang terselimuti awan putih yang memanjang ke arah timur — terlihat megah sekaligus misterius.

Setelah sarapan pagi sederhana, aku bersiap melanjutkan perjalanan touring bareng si Beamoy (BeAT Gemoy). Rencananya hari ini aku akan menempuh rute dari Kerinci, Jambi menuju Payakumbuh, Sumatera Barat lewat jalur Solok.

Brmmm... brmmm...

Aku mulai memacu si Beamoy dengan santai, menikmati udara pagi yang sejuk sambil menatap pemandangan kebun teh dan gunung yang menjulang megah di belakangnya. Tapi belum juga jauh, kabut tebal turun perlahan menutupi pandangan. Kabutnya begitu pekat sampai jarak pandang hanya beberapa meter saja. Tak lama, hujan deras kembali turun.

Brrrrr... hadewh, kuyup lagi nih.

Aku buru-buru mengenakan mantel hujan dan memutuskan tetap melanjutkan perjalanan. Padahal kalau cuacanya cerah, di sepanjang rute ini banyak pemandangan yang bisa dinikmati. Jalur ini menuruni kaki Gunung Kerinci, dan di beberapa titik ada air terjun yang terkenal seperti Air Terjun Telun Berasap. Tapi kali ini aku harus fokus ke jalan, karena jalannya berkelok tajam dan menurun.

Jalannya juga cukup sepi, hanya sesekali terlihat rumah penduduk di antara hutan dan perkebunan kayu manis. Selebihnya, hanya suara mesin Beamoy dan rintik hujan yang menemani perjalanan pagi itu.

Melewati Nagari dan Jalanan Licin

Setelah beberapa waktu, aku tiba di Muara Labuh, sebuah nagari di Kecamatan Sungai Pagu. Di sini sebenarnya ada kawasan wisata yang terkenal, yaitu Nagari Seribu Rumah Gadang. Katanya, di dalam perkampungan itu masih banyak rumah gadang asli yang masih dihuni warga dan terawat dengan baik. Tapi karena cuaca yang kurang bersahabat, aku memutuskan melanjutkan perjalanan.

Selepas Muara Labuh, aku tiba di Surian, salah satu kecamatan di Kabupaten Solok Selatan. Di sini aku melihat beberapa rumah rusak akibat banjir bandang.

Syeremmmm... rasanya membayangkan derasnya air yang turun dari pegunungan beberapa waktu lalu.

Dari Surian, jalan kembali menanjak. Aspalnya sudah mulai rusak di beberapa bagian, banyak lubang yang harus kuhindari, membuatku tak bisa memacu Beamoy dengan bebas. Tapi dari tanjakan inilah, pemandangan mulai berubah — udara semakin dingin, dan bukit-bukit hijau mulai tampak di kejauhan.

Menyapa Keindahan Danau Di Atas

Di sekelilingnya hijau

Tak lama kemudian, dari ketinggian di sebelah kiriku mulai terlihat genangan air luas berwarna keperakan di bawah kabut tipis — Danau Di Atas.
Danau ini berada di Nagari Alahan Panjang, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, tepat di tepi jalan yang menghubungkan Kota Solok dengan Kerinci.

Meskipun hujan masih turun, pemandangannya tetap menakjubkan. Airnya tampak seperti cermin raksasa kelabu, memantulkan awan mendung yang menggantung di atasnya. Di sekeliling danau berdiri perbukitan hijau yang memagarinya dengan rapat, sementara pohon-pohon pinus di tepi jalan berdiri tegak seolah menjaga keheningan tempat itu. Tak salah mereka menjuluki tempat ini dengan nama Swiss dari Sumatera Barat.

Sesekali terlihat kabut tipis melayang di atas permukaan air, membuat suasananya terasa magis dan tenang. Udara dingin menusuk kulit, tapi pemandangan itu cukup membuatku terdiam sejenak. 

Meski hujan tapi tetap mempesona

Berhubung hujan masih deras, aku hanya bisa mengabadikan pemandangan sebisanya. Jujur aja, rasanya belum puas. Rencananya aku juga ingin mampir ke Danau Di Bawah, yang letaknya tidak terlalu jauh dari sini, tapi aku tidak menemukan persimpangannya. Lagipula hujan malah makin deras.

Akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Danau Singkarak.

Brmmm... brmmm...

Mendung tebal membuatku tidak puas menikmati keindahannya

Selasa, 14 Oktober 2025

Touring Bengkulu – Asahan (Bagian 2): Menyusuri Jalur Tapan hingga Danau Kerinci

Danau Kerinci

Brrmm... brmmmm...

Aku masih ngelanjutin perjalanan touring bareng si Beamoy (BeAT Gemoy) menyusuri Jalan Lintas Barat Sumatera dari Bengkulu menuju kampung halaman di Sumatera Utara. Setelah sebelumnya melewati gapura perbatasanBengkulu–Sumatera Barat, kini Bumi Rafflesia sudah jauh tertinggal di belakang. Dadaaaaa.....

Menyapa Bumi Minangkabau

Begitu memasuki wilayah Sumatera Barat, suasana perjalanan terasa sedikit berbeda. Jalanan di provinsi ini tidak seberliku di Bengkulu tadi. Aspalnya mulus, lebar, dan rapi. Si Beamoy pun bisa melaju lebih cepat dengan suara knalpot yang lembut berpadu dengan angin yang segar khas pegunungan barat Sumatera.

Satu jam kemudian, aku tiba di Tapan, sebuah kecamatan yang cukup besar di Kabupaten Pesisir Selatan. Di sini ada sebuah simpang empat. Kalau belok kanan, jalan akan mengarah ke Kota Padang; kalau ke kiri menuju perkampungan penduduk; sementara kalau lurus, jalannya akan membawaku ke arah Kerinci, sebuah kabupaten dataran tinggi di Provinsi Jambi.

Emmmm... Setelah berpikir sebentar, aku pun memutuskan untuk ambil jalan lurus. “Kerinci, I’m coming!”

Brrmm... brmmm...

Menuju Perbatasan Jambi

Dari Simpang Tapan, jalan mulai menanjak perlahan. Di sisi kanan jalan, sebuah sungai berbatu dengan air jernih mengalir mengikuti jalur yang kulalui. Di bawah teriknya matahari siang, air sungainya terlihat begitu segar—menggoda banget buat nyebur, apalagi di beberapa titik ada wisata pemandian alami di sepanjang alirannya.

Tak lama kemudian, aku tiba di perbatasan Sumatera Barat dan Jambi. Di pinggir jalan berdiri sebuah tugu bertuliskan:

“Selamat Datang di Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, Provinsi Jambi.”

Di sekitar tugu ini ada beberapa pondok dan warung sederhana, tapi sayangnya siang itu semuanya tutup. Mungkin karena bukan akhir pekan, jadi suasananya cukup sepi dan tenang. 

Gapura batas Sumbar-Jambi

Setelah sempat beristirahat sebentar dan mengambil beberapa foto, aku melanjutkan perjalanan. Dari sini, jalannya makin menanjak dan pemandangannya didominasi hutan-hutan lebat di kanan-kiri jalan. Ini adalah kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, salah satu taman nasional terbesar di Indonesia dan juga habitat harimau Sumatera. Hiiii... syerem!

Sesekali terlihat air terjun kecil yang jatuh tepat di tepi jalan—airnya jernih, kayaknya seger juga kalo berenti sebentar di situ. Suasananya benar-benar sepi; nggak ada rumah penduduk cuy, kendaraan yang lewat pun bisa dihitung jari. Di sinilah aku ngerasa benar-benar berkendara sendirian di tengah hutan Sumatera yang megah dan tenang.

Sekitar satu jam kemudian, akhirnya aku keluar dari kawasan hutan dan dari kejauhan mulai terlihat Kota Sungai Penuh yang terhampar di lembah. Yeee......

Brrmm... brmmm... si Beamoy pun melaju lagi menuruni jalan menuju kota itu.

Kota Sungai Penuh

Sungai Penuh adalah kota terbesar kedua di Provinsi Jambi setelah Kota Jambi. Dulunya kota ini merupakan ibu kota Kabupaten Kerinci, tapi sejak 2011 statusnya berubah menjadi kota madya, sedangkan ibu kota Kabupaten Kerinci dipindahin ke Siulak.

Dari pusat kota, aku lantas mengarahkan si Beamoy ke arah selatan, menuju Museum Kerinci. Katanya, museum ini menyimpan sejarah panjang masyarakat Kerinci dan berbagai peninggalan budayanya. Konon, suku Kerinci merupakan salah satu suku tertua di Pulau Sumatera—bahkan dipercaya punya hubungan dengan peradaban Melayu kuno.

Tapi Sayangnya, ketika aku tiba di gerbang museum, pagar dan pintunya tertutup rapat.

Hiks... hiks... hiks... sedih banget cuy. Udah jauh-jauh ke sini malah museumnya tutup. Ini sih salah satu tantangan kalau berkunjung ke museum-museum yang ada daerah—kadang nggak buka di luar hari libur. Tapi ya sudahlah, travel must go on!

Danau Kerinci, Permata Dataran Tinggi Jambi

Untungnya, Museum Kerinci ini lokasinya berada nggak jauh dari Danau Kerinci, jadi aku langsung putar stang ke parkiran Danau Kerinci untuk mengobati rasa kecewa. Begitu tiba, rasa capek langsung hilang. Depan mataku terbentang Danau Kerinci yang begitu luas dan tenang, seperti cermin raksasa di tengah pegunungan.

Danau ini berada sekitar 16 km dari Kota Sungai Penuh, di ketinggian sekitar 783 meter di atas permukaan laut. Airnya jernih, memantulkan langit yang sedikit berkabut siang itu. Di kejauhan tampak Gunung Raya dan Gunung Kerinci, dua gunung yang menjadi penjaga alam Kerinci. 

Gunung yang menjadi latar danaunya
Danaunya luas

Di tepi danau sudah tertata cukup baik. Ada taman kecil dengan tulisan besar “Danau Kerinci, beberapa gazebo untuk bersantai, dan sebuah menara pandang tempat pengunjung bisa menikmati panorama danau dari ketinggian. Dari atas menara, terlihat perahu nelayan kecil bergerak perlahan di permukaan air, sementara beberapa pengunjung sibuk berfoto di pinggir dermaga. 

Danau Kerinci
Ada gazebo di pinggir danaunya
Gazebo dan menara pandang
Mau nyoba menyusuri danau pake perahu juga bisa

Buat wisatawan, tersedia juga perahu sewaan untuk mengelilingi danau. Tapi karena aku sendirian, aku urung mencobanya—lumayan juga biayanya kalau nggak ramean. Jadi aku memilih duduk santai di gazebo, menikmati semilir angin dan suara riak air yang menenangkan.

Di sekeliling danau, banyak kebun sayur dan sawah milik warga. Katanya, air dari Danau Kerinci ini jadi sumber utama irigasi untuk pertanian di sekitarnya. Sambil menikmati pemandangan itu, aku merasa perjalanan panjang dari Bengkulu benar-benar terbayar. Semua rasa lelah, panas, dan kesepian di jalan sirna begitu saja.

Setelah puas menikmati keindahan Danau Kerinci, aku pun kembali menyalakan si Beamoy dan meluncur pelan ke arah Kota Sungai Penuh. Hari mulai sore, dan rencanaku malam ini ingin mencari penginapan di sekitar Gunung Kerinci, untuk melanjutkan petualangan esok hari.

Brrmm... brmmm...
Perjalanan masih panjang, dan kisah ini belum selesai. 

Si ganteng yang unyu di Danau Kerinci

Rabu, 05 Mei 2021

Danau Lau Kawar

Danau Lau Kawar
Danau Lau Kawar di Tanah Karo

Hai sahabat backpacker...

Setelah kemarin aku mengunjungi Museum Letjen Jamin Gintings yang ada di Desa Suka, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, maka di hari selanjutnya aku kembali melanjutkan petualanganku di Tanah Karo dan tujuanku kali ini adalah Danau Lau Kawar yang ada di kaki Gunung Sinabung.

Museum Letjen Jamin Gintings di Tanah Karo

Sebenarnya aku udah cukup lama pengen ngunjungi danau ini, tapi karena kondisi Gunung Sinabung belum normal juga setelah bertahun-tahun erupsi membuat rencana tersebut terbengkalai. Dan akhirnya hari ini, setelah beberapa bulan ini Gunung Sinabung aman dari erupsi, aku pun berpetualang ke danau yang ada di kakinya tersebut.

Alamat Danau Lau Kawar

Danau Lau Kawar beralamat di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Danaunya berada di Kawasan Ekosistem Leuser, tepatnya di kaki Gunung Sinabung dan berjarak sekitar 45 menit perjalanan dari Kota Kabanjahe, ibukota Kabupaten Karo.

Sepanjang perjalanan menuju danau ini, aku juga harus mengingat setiap persimpangan dan jalur evakuasi terdekat, kalau-kalau gunung ini mengalami erupsi kembali. Jujur aja,perjalanan kali ini membuat adrenalinku lumayan terpacu. Brmm... brmmm...

Menjelang tiba di Danau Lau Kawar, aku bisa melihat Gunung Sinabung yang menjulang tinggi di sisi kiri jalan. Gunung ini terlihat begitu gagah perkasa, indah dan menawan, sekaligus gersang. Sesekali terlihat juga gumpalan asap yang keluar dari puncak gunungnya yang tertutup awan. Sedangkan di kaki gunungnya aku bisa ngelihat pepohonan yang mati mengering karena dampak erupsi yang terjadi secara terus-menerus. 

Danau Lau Kawar
Gunung Sinabung di sisi jalan
Danau Lau Kawar
Gunung Sinabung
Danau Lau Kawar
Pepohonan yang meranggas di kaki gunung

Pemandangan Danau Lau Kawar

Setelah berkendara sekitar 50 menit, aku akhirnya tiba juga di pintu gerbang Danau Lau Kawar. Setelah memarkirkan motor di pinggiran danau, aku segera mengeksplore pesona Danau Lau Kawar ini.

Kesan pertamaku adalah danau ini sepi banget cuy. Selain aku sendiri, pengunjungnya cuma ada dua pasangan yang sedang duduk nyantai di pinggiran danau dan dua orang yang sepertinya penduduk sekitar yang sedang memancing ikan di atas rakit bambu.

Kesan berikutnya adalah, danau ini terbengkalai. Terlihat dari gerbangnya yang tak terawat. Semak belukar juga tumbuh subur di sekitar danau. Bahkan beberapa fasilitas umumnya juga udah rusak seperti arena bermain anak, gazebo, dan fasilitas lainnya. 

Danau Lau Kawar
Gerbang Danau Lau Kawar
Danau Lau Kawar
Rumput pun tumbuh panjang
Danau Lau Kawar
Gazebonya mau rubuh
Danau Lau Kawar
Area bermain anak yang terbengkalai

Sepertinya semenjak adanya erupsi Gunung Sinabung bertahun-tahun yang lalu, danau ini tak lagi dikelola dan dikunjungi wisatawan. Padahal dulunya kawasan danau ini menjadi lokasi camping favorit bagi para pendaki yang ingin menggapai puncak Gunung Sinabung.

Untungnya erupsi tersebut tak mempengaruhi kondisi Danau Lau Kawar. Danau ini tetap terlihat indah dan menawan. Alam sekitarnya juga tetap hijau dan subur. Udaranya juga sejuk khas udara pegunungan. 

Danau Lau Kawar
Danau Lau Kawar
Danau Lau Kawar
Jalan di pinggir danau
Danau Lau Kawar
Naik rakit di Danau Lau Kawar

Pemadangan Danau Lau Kawar juga indah, danaunya cukup luas dengan air yang berwarna kehijauan akibat pembiasan dari perbukitan hijau yang mengelilingi sekitar Danau Lau Kawar. Duduk bersantai di pinggir danau ini cukup membuatku nyaman dan betah berlama-lama hingga,

Bang, tolong fotoin kami dong!” salah satu pasangan tersebut ternyata mendatangiku meminta diambilkan foto.

Oh iya, sini hapenya Bang!” ucapku sambil mencari komposisi yang bagus.

Pose gini aja yang.” Kata si Cowok sambil memeluk pacarnya dari belakang. Dan dilanjutkan dengan pose-pose mesra lainnya.

Asemlah, kalo mau mesra-mesraan liat tempat dan situasi dong. Rutukku dalam hati.

Setelah cukup mengambilkan foto pasangan yang sedang kasmaran tersebut, aku pun bergegas meninggalkan Danau Lau Kawar yang tetap terlihat tenang di belakangku.

Aku bukan kabur karena iri ya, tapi suasana Danau Lau Kawar yang teramat sepi itu bikin serem juga. Apalagi sejak dulu, sejak danau ini masih ramai ama para pendaki, danau ini emang udah terkenal angker dan sering membuat pengunjung kesurupan jika bertingkah yang nggak sopan.

Kabur duluan deh. 😁

Oh ya, setelah ini aku melanjutkan petualangan ke masjid tertua di Tanah Karo. Sampai jumpa.

To be continued....

Danau Lau Kawar
Suasananya tenang banget
Danau Lau Kawar
Backpacker ganteng dan unyu di Danau Lau Kawar

Senin, 15 Maret 2021

Menara Pandang Tele, Melihat Danau Toba dari Ketinggian

Menara Pandang Tele
Danau Toba dari Menara Pandang Tele

Brmmm... brmmm... aku kembali memacu sepeda motorku. Setelah sebelumnya aku berhenti sejenak di Jembatan Tano Ponggol, sebuah jembatan bersejarah di Pulau Samosir. Sekarang aku memutuskan untuk keluar dari Pulau Samosir dan mengarah kembali Kota Medan. Untuk perjalanan pulang ini, aku mau mencoba perjalanan via darat melalui Jalan Tele-Pangururan.

Baca juga: Jembatan Tano Ponggol, Jembatan Penghubung Samosir dengan Sumatera

Jalan Tele-Pangururan

Jalan Tele-Pangururan  adalah sebuah jalan yang menghubungkan antara Pulau Samosir dengan daratan utama Pulau Sumatera. Jalannya indah banget, karena di satu sisi terlihat perbukitan hijau dan Gunung Pusuk Buhit, sebuah gunung sakral bagi Suku Batak. Konon katanya, gunung ini menjadi asal-usul Suku Batak. Bahkan di sepanjang jalur menuju puncak gunungnya ada banyak tempat-tempat yang berhubungan langsung dengan sejarah Suku Batak.

Sedangkan di sisi satunya menganga jurang yang cukup lebar, di sisi jurangnya juga sesekali terlihat indahnya pemandangan Danau Toba. Cakep uy! Selain itu, di sepanjang jalan Tele-Pangururan ini juga sesekali terlihat bebatuan yang katanya sisa dari letusan Gunung Toba jutaan tahun silam. Sebuah letusan dahsyat yang katanya hingga mengubah iklim bumi pada saat itu.

Oh ya, Jalan Tele-Pangururan ini juga punya kontur yang mendaki dan berkelok-kelok. Selain itu, anginnya juga cukup kencang. Jadi menurutku untuk melalui jalan ini, apalagi kalo pake sepeda motor harus ekstra hati-hati. Soalnya kalo meleng dikit, bisa ucapin selamat tinggal pada dunia.

Menara Pandang Tele

Sekitar 30 menit kemudian aku pun tiba di Menara Pandang Tele. Menara Pandang Tele adalah adalah sebuah menara pandang yang di terletak di pinggir Jalan Tele-Pangururan. Menara ini menawarkan pemandangan indah Danau Toba dan perbukitan di sekelilingnya dari ketinggian. 

Menara Pandang Tele
Menara Pandang Tele

Alamat Menara Pandang Tele

Menara Pandang Tele beralamat di Jalan Tele-Pangururan, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Menara ini berjarak sekitar 30 menit dari Kota Pangururan, ibukota Kabupaten Samosir.

Tiket Masuk ke Menara Pandang Tele

Harga tiket masuk ke Menara Pandang Tele cuma Rp. 5000 doang peorang dan ditambah biaya parkir motor Rp. 2000. Jadi aku hanya membayar Rp. 7000 aja untuk menikmati pesona dari menara ini.

Pemandangan dari Menara Pandang Tele

Setelah membayar tiket masuk, aku pun segera menjelajahi bagian-bagian dari menara pandang ini. Menara yang diresmikan pada 22 April 1988 ini terdiri atas empat lantai dengan setiap lantainya terdapat balkon berpagar. Sedangkan lantai teratasnya berupa ruangan berdinding kaca 360° sehingga bisa melihat pemandangan dengan lebih luas. Di dalam ruangannya juga ada kursi-kursi untuk pengunjung yang ingin duduk santai menikmati pemandangan. Sayangnya, kacanya cukup kotor dan berdebu, jadi aku memilih menikmati pemandangannya dari balkonnya aja. 

Menara Pandang Tele
Prasasti peresmian Menara Pandang Tele
Menara Pandang Tele
Lantai 4 Menara Pandang Tele

Pemandangan yang terlihat dari atas menara ini cakep banget cuy. Soalnya bisa melihat Danau Toba dari ketinggian. Airnya yang kebiruan terlihat indah banget. apalagi di sekelilingnya terdapat bukit-bukit hijau cantik. Di sela-sela bukit itu juga nampak aliran air terjun, makin cantik pemandangannya.

Selain pemadangan Danau Toba dari ketinggian, di sekitar menara juga ada taman bunga mininya, cakep juga buat foto-foto. Lalu ada juga beberapa warung yang nyediain makanan ringan dan minuman. Jadi bisa sebagai tempat istirahat juga. 

Menara Pandang Tele
Danau Toba dan perbukitan hijau
Menara Pandang Tele
Pemandangan perbukitan dari atas menara
Menara Pandang Tele
Air Terjun di sela-sela perbukitan

Untuk kekurangannya, menara ini nggak punya teropong pandang sih, nggak seperti menara-menara pandang lainnya. Lalu nggak ada toiletnya juga sehingga kalo ingin ke kamar mandi harus memakai kamar mandi di warung-warung tersebut. Selain itu, kebersihan menaranya juga cukup kurang. Semoga nanti bisa lebih diperbaiki lagi. Aamiin...

Setelah puas menikmati indahnya Danau Toba dari ketinggian, aku pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Medan via jalur darat ini. Oh ya, setelah ini aku juga bakal singgah di satu air terjun yang ada tepat di pinggir jalan raya. Stay tune...

To be continued....

Menara Pandang Tele
Papan informasi Kaldera Toba
Menara Pandang Tele
Ada taman mininya juga
Menara Pandang Tele
Backpacker ganteng dan unyu di Menara Pandang Tele