Rabu, 05 November 2025

Touring Part 6: Istano Basa Pagaruyung, Jejak Kerajaan Minangkabau

Istano Basa Pagaruyung

Brrmm... brmmm...

Setelah puas menikmati indahnya alam DanauSingkarak, aku kembali menarik gas Beamoy, si motor kesayanganku, untuk melanjutkan perjalanan touring. Dari tepi danau ini, ada dua pilihan jalan — kalau lurus ke arah Kota Bukittinggi, tapi kalau belok ke kanan, jalan itu akan membawaku menuju Batusangkar.

Emmmm.....

Setelah berpikir sebentar, akhirnya kupilih jalur kanan. Gas kuy ke Batusangkar! Brmmm... brmmm...

Menuju Batusangkar

Jalanan mulai menanjak, berkelok-kelok lembut di antara perbukitan. Di kiri-kanan, pepohonan rindang membentuk lorong hijau yang seolah menyambut setiap putaran roda motorku. Udara siang itu terasa segar, lembab khas pegunungan. Sesekali, sinar matahari menembus sela-sela dedaunan dan memantul di kaca spion — membuat suasana perjalanan makin syahdu.

Tak sampai satu jam, akhirnya aku tiba di Kota Batusangkar, ibukota Kabupaten Tanah Datar. Kotanya nyaman, tidak terlalu ramai tapi hidup. Banyak bangunan yang masih mempertahankan arsitektur khas rumah gadang — atapnya menjulang seperti tanduk kerbau, menandakan kuatnya budaya Minangkabau di setiap sudut kota ini.

Istano Basa Pagaruyung

Dari pusat kota, aku melanjutkan perjalanan menuju Istano Basa Pagaruyung, ikon sejarah sekaligus kebanggaan masyarakat Minangkabau. Lokasinya berada di Nagari Pagaruyung, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, sekitar 5 kilometer dari kota Batusangkar. Berada tepat di pinggir jalan utama, istana ini mudah ditemukan — apalagi dengan latar belakang bukit dan tulisan besar “Pagaruyung” yang tampak megah dari kejauhan.

Istano Basa Pagaruyung yang berdiri sekarang adalah replika dari istana asli Kerajaan Pagaruyung, yang dahulu sempat hancur karena kebakaran. Replika ini dibangun kembali dengan tetap menjaga keaslian arsitektur tradisional Minangkabau.

Bangunannya berdiri gagah — tiga tingkat, berdinding kayu, dipenuhi ukiran bermotif khas Minangkabau, dengan atap ijuk hitam menjulang berbentuk gonjong (tanduk kerbau). Dari depan saja sudah terasa aura megah dan sakralnya, seolah membawa kita mundur ke masa kejayaan kerajaan Minangkabau. 

Arsitektur bangunannya sangat indah
Terdapat banyak ukiran khas Minangkabau

Menjelajahi Bagian Dalam

Setelah membeli tiket seharga Rp20.000, aku pun melangkah masuk ke dalam istano. Saat pertama kali menginjakkan kaki di lantai kayu yang mengilap, aku langsung terpesona oleh suasananya — hangat, wangi kayu, dan terasa penuh sejarah.

Bagian dalam kini difungsikan sebagai museum budaya Minangkabau. Di ruang pertama, aku disambut deretan keramik kuno yang tersusun rapi. Di sisi lain, ada pajangan kain yang beragam. Salah satunya adalah kain sulaiman benang emas yang berkilau keemasan. 

Koleksi keramik
Koleksi kain

Naik ke lantai dua, yang disebut Anjungan Paranginan, dulunya menjadi tempat tinggal para putri raja yang belum menikah. Di sini aku menemukan koleksi benda-benda bersejarah seperti kapak batu, alat musik tradisional, hingga peralatan upacara adat

Anjungan Paranginan

berbagai koleksi di dalam Istano Basa Pagaruyung

Sementara di lantai tiga, yang disebut Ruang Mahligai, tersimpan berbagai perhiasan dan alat kebesaran raja — termasuk mahkota kerajaan yang dulu menjadi simbol kekuasaan. Dari lantai ini aku menatap keluar jendela, terlihat pemandangan menakjubkan: di belakang istana berdiri Bukit Bungsu dengan tulisan “Pagaruyung”, dan di depan terbentang kota Batusangkar yang dikelilingi barisan perbukitan hijau. 

Ruang Mahligai
Pemandangan halaman istano
Pemandangan dari lantai tiga istano
Pemandangan di belakang istano

Setelah puas berkeliling dan menikmati setiap detail sejarah yang tersimpan di dalam istano, aku pun kembali ke halaman depan. Angin sore berhembus lembut, membuat bendera umbul-umbul berwarna hitam, merah dan kuning – warna khas Minangkabau di halaman istana berkibar pelan.

Aku menyalakan Beamoy lagi. Brmmm... brmmm...

Waktunya melanjutkan perjalanan berikutnya — meninggalkan jejak roda di tanah yang dulu pernah menjadi pusat kebesaran Kerajaan Minangkabau.

Info Singkat Istano Basa Pagaruyung

📍 Lokasi: Nagari Pagaruyung, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat

🕒 Jam buka: Setiap hari, pukul 08.00 – 17.00 WIB

🎟Harga tiket: Rp20.000/orang

🏛Daya tarik utama: Arsitektur rumah gadang bertingkat tiga, museum sejarah dan budaya Minangkabau, pakaian adat, serta panorama Bukit Pagaruyung.

🚗 Akses: Sekitar 15 menit dari pusat Kota Batusangkar, bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi atau transportasi umum lokal.

Backpacker ganteng dan imut di depan Istano Basa Pagaruyung

Jumat, 31 Oktober 2025

Touring Part 5: Danau Singkarak, Danau Terbesar di Sumatera Barat

Danau Singkarak

Brrrrr... dingin cuy! 🌧

Di antara deru hujan aku kembali memacu Beamoy melintasi jalan lintas Kerinci–Solok setelah sempat berhenti sebentar di tepian Danau Di Atas. Dari sana, jalanan masih didominasi pemandangan indah berupa kebun teh Danau Kembar yang terhampar luas di kanan dan kiri jalan, dengan latar perbukitan hijau yang tampak samar tertutup kabut.

Andai saja cuaca tak semendung ini, pasti perjalanan ini akan jauh lebih sempurna. Daun-daun teh yang basah tertimpa sisa hujan berkilau memantulkan cahaya redup dari langit kelabu — pemandangan yang tetap menenangkan meski dinginnya menusuk tulang.

Tak lama kemudian aku sampai di sebuah pertigaan jalan: ke kiri menuju Kota Padang via Sitinjau Lauik, dan ke kanan menuju Kota Solok. Karena tujuanku hari ini adalah Danau Singkarak, tentu aku memilih belok ke kanan.

Brmmm... brmmm... Beamoy melaju lagi, menembus sisa kabut yang perlahan mulai menipis.

Kota Solok — Serambi Madinah di Lembah Hijau

Kota Solok merupakan sebuah kotamadya di Sumatera Barat, dulunya adalah ibu kota Kabupaten Solok sebelum dipindahkan ke Arosuka. Kota ini dijuluki “Kota Beras Serambi Madinah”. Julukan itu bukan tanpa alasan — selain dikenal sebagai penghasil beras berkualitas tinggi, masyarakat Solok juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan.

Begitu memasuki kota, suasana terasa lebih hidup. Bangunan rapi, jalanan cukup ramai, dan di kejauhan tampak pegunungan hijau yang mengelilinginya. Syukurlah, hujan sudah mulai reda dan hanya menyisakan sedikit mendung di langit. Aku pun bisa melepas mantel hujan yang sudah kupakai sejak dari Kerinci.

Udara masih dingin, tapi semangat touring kembali menghangat. Tak lama kemudian, akhirnya aku sampai di tempat yang sudah lama ingin kukunjungi...

Danau Singkarak

Danau Singkarak berada di antara Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Letaknya sangat strategis karena jalan raya Solok–Bukittinggi membentang tepat di tepi danau. Jadi, sepanjang perjalanan, mata dimanjakan oleh pemandangan air danau yang luas dan tenang, berpadu dengan barisan bukit yang mengelilinginya.

Air danau tampak berwarna jernih kehijauan dengan permukaan yang beriak halus tertiup angin. Sesekali terlihat perahu wisata bersandar di pinggir danau, sementara di beberapa titik terdapat jaring-jaring ikan terapung milik warga. 

Danau Singkarak
Perahu wisata di Danau Singkarak
Keramba ikan di Danau Singkarak

Dulu aku sering melihat Tour de Singkarak di televisi — ajang balap sepeda yang melintasi tepian danau ini. Saat itu aku cuma bisa membayangkan betapa indahnya pemandangan di sepanjang jalur ini. Dan sekarang, akhirnya aku melihatnya langsung di depan mata. Rasanya luar biasa!

Danau Singkarak sendiri merupakan danau tektonik terbesar di Sumatera Barat. Menurut penjelasan geologi, danau ini terbentuk akibat pergerakan Sesar Sumatera yang menyebabkan dasar permukaan bumi ambles dan membentuk cekungan besar. Karena itu, permukaan airnya terlihat dalam dan diapit oleh barisan pegunungan yang berdiri kokoh mengelilinginya. 

Danau Singkarak merupakan danau terbesar di Sumatera Barat
Pemandangan di tepian Danau Singkarak
Danau Singkarak dan perbukitan di sekelilingnya

Udara di sekitar danau terasa sejuk, bahkan sedikit dingin menusuk kulit. Di beberapa tempat, terlihat rumah-rumah panggung khas Minangkabau berdiri di pinggir jalan, sementara pepohonan pinus dan cemara menambah kesan alami di sekeliling danau. Aku lantas menyempatkan diri untuk berhenti sejenak di salah satu warung, menikmati sebutir kelapa muda sembari memandangi indahnya Danau Singkarak. 

Menikmati kelapa muda
Warung-warung di tepian Danau Singkarak

Setelah puas menikmati keindahan alam Singkarak, aku kembali bersiap melanjutkan perjalanan. Mesin dan ban si Beamoy yang sudah dingin kusiapkan lagi.

Brmmm... brmmm...

Gas kuy, lanjut ke Batusangkar dulu! 🚴

Beamoy dengan latar Danau Singkarak
Siganteng nan unyu di Danau Singkarak

🔖 Info Singkat: Danau Singkarak

  • Lokasi: Kabupaten Solok & Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat
  • Luas: ±108 km²
  • Kedalaman maksimum: ±268 meter
  • Asal usul: Danau tektonik akibat pergerakan Sesar Sumatera
  • Daya tarik: Pemandangan danau dari jalan raya dan jalur legendaris Tour de Singkarak 

Senin, 27 Oktober 2025

Touring Part 4: Danau Di Atas


Danau Di Atas

Yuhuuu... selamat pagi, kawan-kawan! 🌤

Pagi ini suasana di Perkebunan Kayu Aro begitu indah. Setelah semalam hujan deras mengguyur, hamparan kebun tehnya tampak segar dan berkilau tertimpa cahaya matahari pagi. Di kejauhan berdiri gagah Gunung Kerinci, gunung api tertinggi di Pulau Sumatera. Bagian puncaknya sedang terselimuti awan putih yang memanjang ke arah timur — terlihat megah sekaligus misterius.

Setelah sarapan pagi sederhana, aku bersiap melanjutkan perjalanan touring bareng si Beamoy (BeAT Gemoy). Rencananya hari ini aku akan menempuh rute dari Kerinci, Jambi menuju Payakumbuh, Sumatera Barat lewat jalur Solok.

Brmmm... brmmm...

Aku mulai memacu si Beamoy dengan santai, menikmati udara pagi yang sejuk sambil menatap pemandangan kebun teh dan gunung yang menjulang megah di belakangnya. Tapi belum juga jauh, kabut tebal turun perlahan menutupi pandangan. Kabutnya begitu pekat sampai jarak pandang hanya beberapa meter saja. Tak lama, hujan deras kembali turun.

Brrrrr... hadewh, kuyup lagi nih.

Aku buru-buru mengenakan mantel hujan dan memutuskan tetap melanjutkan perjalanan. Padahal kalau cuacanya cerah, di sepanjang rute ini banyak pemandangan yang bisa dinikmati. Jalur ini menuruni kaki Gunung Kerinci, dan di beberapa titik ada air terjun yang terkenal seperti Air Terjun Telun Berasap. Tapi kali ini aku harus fokus ke jalan, karena jalannya berkelok tajam dan menurun.

Jalannya juga cukup sepi, hanya sesekali terlihat rumah penduduk di antara hutan dan perkebunan kayu manis. Selebihnya, hanya suara mesin Beamoy dan rintik hujan yang menemani perjalanan pagi itu.

Melewati Nagari dan Jalanan Licin

Setelah beberapa waktu, aku tiba di Muara Labuh, sebuah nagari di Kecamatan Sungai Pagu. Di sini sebenarnya ada kawasan wisata yang terkenal, yaitu Nagari Seribu Rumah Gadang. Katanya, di dalam perkampungan itu masih banyak rumah gadang asli yang masih dihuni warga dan terawat dengan baik. Tapi karena cuaca yang kurang bersahabat, aku memutuskan melanjutkan perjalanan.

Selepas Muara Labuh, aku tiba di Surian, salah satu kecamatan di Kabupaten Solok Selatan. Di sini aku melihat beberapa rumah rusak akibat banjir bandang.

Syeremmmm... rasanya membayangkan derasnya air yang turun dari pegunungan beberapa waktu lalu.

Dari Surian, jalan kembali menanjak. Aspalnya sudah mulai rusak di beberapa bagian, banyak lubang yang harus kuhindari, membuatku tak bisa memacu Beamoy dengan bebas. Tapi dari tanjakan inilah, pemandangan mulai berubah — udara semakin dingin, dan bukit-bukit hijau mulai tampak di kejauhan.

Menyapa Keindahan Danau Di Atas

Di sekelilingnya hijau

Tak lama kemudian, dari ketinggian di sebelah kiriku mulai terlihat genangan air luas berwarna keperakan di bawah kabut tipis — Danau Di Atas.
Danau ini berada di Nagari Alahan Panjang, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, tepat di tepi jalan yang menghubungkan Kota Solok dengan Kerinci.

Meskipun hujan masih turun, pemandangannya tetap menakjubkan. Airnya tampak seperti cermin raksasa kelabu, memantulkan awan mendung yang menggantung di atasnya. Di sekeliling danau berdiri perbukitan hijau yang memagarinya dengan rapat, sementara pohon-pohon pinus di tepi jalan berdiri tegak seolah menjaga keheningan tempat itu. Tak salah mereka menjuluki tempat ini dengan nama Swiss dari Sumatera Barat.

Sesekali terlihat kabut tipis melayang di atas permukaan air, membuat suasananya terasa magis dan tenang. Udara dingin menusuk kulit, tapi pemandangan itu cukup membuatku terdiam sejenak. 

Meski hujan tapi tetap mempesona

Berhubung hujan masih deras, aku hanya bisa mengabadikan pemandangan sebisanya. Jujur aja, rasanya belum puas. Rencananya aku juga ingin mampir ke Danau Di Bawah, yang letaknya tidak terlalu jauh dari sini, tapi aku tidak menemukan persimpangannya. Lagipula hujan malah makin deras.

Akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Danau Singkarak.

Brmmm... brmmm...

Mendung tebal membuatku tidak puas menikmati keindahannya

Selasa, 21 Oktober 2025

Touring Part 3: Kebun Teh Kayu Aro dan Gunung Kerinci


Kemegahan Gunung Kerinci

Hai sahabat backpacker...

Setelah rasa lelah pudar dengan menikmati indahnya alam Danau Kerinci, aku kembali melanjutkan perjalanan touring bareng si Beamoy (BeAT Gemoy).
Kali ini tujuanku adalah Kayu Aro, sebuah kawasan sejuk di kaki Gunung Kerinci yang terkenal dengan perkebunan tehnya. Rencananya aku mau nyari penginapan di sekitar sana.

Brmmm... brmmm...

Aku mulai menyalakan si Beamoy dan kembali menyusuri jalanan menuju Kota Sungai Penuh. Dari kota ini aku mengambil arah ke utara, menuju daerah Kayu Aro. Tapi baru beberapa kilometer berjalan, kabut mulai turun dan tak lama berubah menjadi hujan deras.

Alamak… kuyup juga nih. 😅

Untungnya aku segera nemuin rumah makan Padang di pinggir jalan.
Sebenarnya rencana awal pengen nyari warung khas Kerinci, tapi dengan kondisi hujan deras, kabut tebal, dan petir bersahut-sahutan, ya sudahlah... yang penting bisa makan dan berteduh dulu. Lagi pula aroma rendang dan gulai yang menyeruak udah bikin perut semakin protes.

Selesai makan, aku masih duduk-duduk santai di rumah makan itu sambil menunggu hujan sedikit reda. Meski bawa mantel, tapi suara petir yang nyaring bikin aku mikir dua kali buat lanjut.

Abang penjaga rumah makan sempat nyaranin aku buat nginap di Bukit Tirai Embun, salah satu kawasan wisata di Kerinci yang katanya cocok buat camping atau sekadar menikmati kabut pagi.

Sebenarnya aku udah sempat searching tentang tempat itu, tapi hujan yang deras begini bikin rencana camping rasanya nggak mungkin. Ada villa juga sih di sana, tapi untuk solo backpacker kayak aku, harganya sangat berat di dompet.
Akhirnya aku cuma senyum dan ngucapin terima kasih atas sarannya.

Menuju Kayu Aro

Sekitar satu jam kemudian, hujan mulai reda jadi gerimis. Petir juga sudah nggak terdengar lagi. Aku segera pakai mantel hujan yang kusimpan di jok dan kembali melanjutkan perjalanan menuju Kayu Aro, dengan jarak pandang yang terbatas karena kabut masih menggantung tebal di udara.

Sesampainya di Desa Kersik Tuo, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, aku memutuskan untuk mencari penginapan. Badan udah kedinginan dan jelas butuh istirahat. Pilihan akhirnya jatuh pada Homestay Subandi, yang letaknya tepat di pinggir jalan lintas Kerinci–Solok.

Dari depan homestay ini seharusnya langsung terlihat pemandangan kebun teh Kayu Aro dan Gunung Kerinci, tapi sore itu kabut begitu tebal, jadi semuanya tertutup.

Yah, semoga besok pagi cuaca udah bersahabat.

Menginap di Homestay Subandi

Aku dapat kamar di lantai dua. Kamarnya sederhana tapi nyaman, dengan jendela besar yang menghadap langsung ke arah perkebunan teh dan Gunung Kerinci. Nggak ada AC di sini, cuma kipas angin — tapi percaya deh, udara malamnya udah cukup bikin menggigil. Brrrr... 

Kamar penginapan di Kerinci
Kamar mandi

Kamar mandinya nggak terlalu besar, tapi ada air panas. Di depan kamar tersedia ruang bersantai lengkap dengan sofa, meja, TV, dan dispenser yang menyediakan teh dan kopi. Enaknya, ruang santai ini terhubung langsung ke balkon dengan kaca besar — spot sempurna buat menikmati pemandangan. 

Ruang santai penginapan
Ada TV dan minuman hangat
Menikmati minuman hangat

Srrr... hujan kembali turun. Aku menyeruput teh hangat sambil mendengar suara rintik hujan di atap seng. Tak lama, mata pun terasa berat.
Zzz... 

Kebun Teh Kayu Aro

Selesai salat subuh, aku langsung membuka tirai jendela.
Beuhhh... pemandangannya luar biasa! Hamparan kebun teh yang hijau segar terbentang luas di depan mata. Daun-daunnya masih basah sisa hujan semalam bersama kabut tipis yang menyebar di kaki gunung.

Aku turun ke halaman homestay dan berjalan-jalan sebentar menikmati udara pagi. Perkebunan Teh Kayu Aro ini termasuk perkebunan teh tertua dan tertinggi di Indonesia, peninggalan zaman kolonial Belanda sejak tahun 1925.
Luasnya mencapai ribuan hektar, dan hasil tehnya terkenal sampai ke luar negeri. Konon, teh dari sini dulu jadi salah satu favorit Ratu Belanda dan bahkan diekspor ke Eropa. 

Perkebunan Teh Kayu Aro
Kebun Teh Kayu Aro dan Gunung Kerinci

Gunung Kerinci

Perkebunan ini berada tepat di kaki Gunung Kerinci, gunung api tertinggi di Pulau Sumatera dengan ketinggian sekitar 3.805 meter di atas permukaan laut.
Dari penginapan, aku bisa melihat keindahan gunung ini dengan jelas — kakinya diselimuti hijau kebun teh dan hutan, bagian tengahnya kemerahan oleh batuan vulkanik, sementara puncaknya sedang terselimuti awan putih yang memanjang ke arah timur. Sungguh pemandangan yang megah. Perpaduan antara hijaunya kebun teh dan gagahnya Gunung Kerinci jadi kombinasi yang sempurna untuk menutup hari perjalananku di Kerinci. 

Gunung Kerinci, Gunung Tertinggi di Pulau Sumatera
Gunung Kerinci

Puas menikmati suasana pagi dan mengambil beberapa foto, aku kembali ke penginapan untuk sarapan dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman. Masih jauh memang, tapi gaskuy lah. Masih banyak pemandangan indah di depan sana.

Brmmm... brmmm...

Sampai jumpa di cerita berikutnya, sahabat backpacker!

Selasa, 14 Oktober 2025

Touring Bengkulu – Asahan (Bagian 2): Menyusuri Jalur Tapan hingga Danau Kerinci

Danau Kerinci

Brrmm... brmmmm...

Aku masih ngelanjutin perjalanan touring bareng si Beamoy (BeAT Gemoy) menyusuri Jalan Lintas Barat Sumatera dari Bengkulu menuju kampung halaman di Sumatera Utara. Setelah sebelumnya melewati gapura perbatasanBengkulu–Sumatera Barat, kini Bumi Rafflesia sudah jauh tertinggal di belakang. Dadaaaaa.....

Menyapa Bumi Minangkabau

Begitu memasuki wilayah Sumatera Barat, suasana perjalanan terasa sedikit berbeda. Jalanan di provinsi ini tidak seberliku di Bengkulu tadi. Aspalnya mulus, lebar, dan rapi. Si Beamoy pun bisa melaju lebih cepat dengan suara knalpot yang lembut berpadu dengan angin yang segar khas pegunungan barat Sumatera.

Satu jam kemudian, aku tiba di Tapan, sebuah kecamatan yang cukup besar di Kabupaten Pesisir Selatan. Di sini ada sebuah simpang empat. Kalau belok kanan, jalan akan mengarah ke Kota Padang; kalau ke kiri menuju perkampungan penduduk; sementara kalau lurus, jalannya akan membawaku ke arah Kerinci, sebuah kabupaten dataran tinggi di Provinsi Jambi.

Emmmm... Setelah berpikir sebentar, aku pun memutuskan untuk ambil jalan lurus. “Kerinci, I’m coming!”

Brrmm... brmmm...

Menuju Perbatasan Jambi

Dari Simpang Tapan, jalan mulai menanjak perlahan. Di sisi kanan jalan, sebuah sungai berbatu dengan air jernih mengalir mengikuti jalur yang kulalui. Di bawah teriknya matahari siang, air sungainya terlihat begitu segar—menggoda banget buat nyebur, apalagi di beberapa titik ada wisata pemandian alami di sepanjang alirannya.

Tak lama kemudian, aku tiba di perbatasan Sumatera Barat dan Jambi. Di pinggir jalan berdiri sebuah tugu bertuliskan:

“Selamat Datang di Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, Provinsi Jambi.”

Di sekitar tugu ini ada beberapa pondok dan warung sederhana, tapi sayangnya siang itu semuanya tutup. Mungkin karena bukan akhir pekan, jadi suasananya cukup sepi dan tenang. 

Gapura batas Sumbar-Jambi

Setelah sempat beristirahat sebentar dan mengambil beberapa foto, aku melanjutkan perjalanan. Dari sini, jalannya makin menanjak dan pemandangannya didominasi hutan-hutan lebat di kanan-kiri jalan. Ini adalah kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, salah satu taman nasional terbesar di Indonesia dan juga habitat harimau Sumatera. Hiiii... syerem!

Sesekali terlihat air terjun kecil yang jatuh tepat di tepi jalan—airnya jernih, kayaknya seger juga kalo berenti sebentar di situ. Suasananya benar-benar sepi; nggak ada rumah penduduk cuy, kendaraan yang lewat pun bisa dihitung jari. Di sinilah aku ngerasa benar-benar berkendara sendirian di tengah hutan Sumatera yang megah dan tenang.

Sekitar satu jam kemudian, akhirnya aku keluar dari kawasan hutan dan dari kejauhan mulai terlihat Kota Sungai Penuh yang terhampar di lembah. Yeee......

Brrmm... brmmm... si Beamoy pun melaju lagi menuruni jalan menuju kota itu.

Kota Sungai Penuh

Sungai Penuh adalah kota terbesar kedua di Provinsi Jambi setelah Kota Jambi. Dulunya kota ini merupakan ibu kota Kabupaten Kerinci, tapi sejak 2011 statusnya berubah menjadi kota madya, sedangkan ibu kota Kabupaten Kerinci dipindahin ke Siulak.

Dari pusat kota, aku lantas mengarahkan si Beamoy ke arah selatan, menuju Museum Kerinci. Katanya, museum ini menyimpan sejarah panjang masyarakat Kerinci dan berbagai peninggalan budayanya. Konon, suku Kerinci merupakan salah satu suku tertua di Pulau Sumatera—bahkan dipercaya punya hubungan dengan peradaban Melayu kuno.

Tapi Sayangnya, ketika aku tiba di gerbang museum, pagar dan pintunya tertutup rapat.

Hiks... hiks... hiks... sedih banget cuy. Udah jauh-jauh ke sini malah museumnya tutup. Ini sih salah satu tantangan kalau berkunjung ke museum-museum yang ada daerah—kadang nggak buka di luar hari libur. Tapi ya sudahlah, travel must go on!

Danau Kerinci, Permata Dataran Tinggi Jambi

Untungnya, Museum Kerinci ini lokasinya berada nggak jauh dari Danau Kerinci, jadi aku langsung putar stang ke parkiran Danau Kerinci untuk mengobati rasa kecewa. Begitu tiba, rasa capek langsung hilang. Depan mataku terbentang Danau Kerinci yang begitu luas dan tenang, seperti cermin raksasa di tengah pegunungan.

Danau ini berada sekitar 16 km dari Kota Sungai Penuh, di ketinggian sekitar 783 meter di atas permukaan laut. Airnya jernih, memantulkan langit yang sedikit berkabut siang itu. Di kejauhan tampak Gunung Raya dan Gunung Kerinci, dua gunung yang menjadi penjaga alam Kerinci. 

Gunung yang menjadi latar danaunya
Danaunya luas

Di tepi danau sudah tertata cukup baik. Ada taman kecil dengan tulisan besar “Danau Kerinci, beberapa gazebo untuk bersantai, dan sebuah menara pandang tempat pengunjung bisa menikmati panorama danau dari ketinggian. Dari atas menara, terlihat perahu nelayan kecil bergerak perlahan di permukaan air, sementara beberapa pengunjung sibuk berfoto di pinggir dermaga. 

Danau Kerinci
Ada gazebo di pinggir danaunya
Gazebo dan menara pandang
Mau nyoba menyusuri danau pake perahu juga bisa

Buat wisatawan, tersedia juga perahu sewaan untuk mengelilingi danau. Tapi karena aku sendirian, aku urung mencobanya—lumayan juga biayanya kalau nggak ramean. Jadi aku memilih duduk santai di gazebo, menikmati semilir angin dan suara riak air yang menenangkan.

Di sekeliling danau, banyak kebun sayur dan sawah milik warga. Katanya, air dari Danau Kerinci ini jadi sumber utama irigasi untuk pertanian di sekitarnya. Sambil menikmati pemandangan itu, aku merasa perjalanan panjang dari Bengkulu benar-benar terbayar. Semua rasa lelah, panas, dan kesepian di jalan sirna begitu saja.

Setelah puas menikmati keindahan Danau Kerinci, aku pun kembali menyalakan si Beamoy dan meluncur pelan ke arah Kota Sungai Penuh. Hari mulai sore, dan rencanaku malam ini ingin mencari penginapan di sekitar Gunung Kerinci, untuk melanjutkan petualangan esok hari.

Brrmm... brmmm...
Perjalanan masih panjang, dan kisah ini belum selesai. 

Si ganteng yang unyu di Danau Kerinci