Tampilkan postingan dengan label Kabupaten Langkat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kabupaten Langkat. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Januari 2017

Masjid Raya Stabat



Brmmm.... Brmmm...

Aku terus memacu kereta (baca: motor) ku dalam perjalanan pulang menuju Kota Medan setelah selesai dari perjalanan edisi menembus batas Sumatera Utara-Aceh dengan uang kurang dari 100 ribu. Setelah sebelumnya singgah di Masjid Azizi, Tanjungpura, Kabupaten Langkat. Akhirnya aku sampai juga di Kota Stabat, ibukota Kabupaten Langkat. Berhubung waktu ashar sudah hampir tiba, aku kemudian membelokkan kereta ke arah parkiran Masjid Raya Stabat.
Singgah dulu
 Skip skip

Masjid Raya Stabat
Masjid Raya Stabat merupakan salah satu masjid peninggalan bersejarah  yang ada di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara selain Masjid Raya Azizi yang ada di Tanjung Pura. Masjid ini juga merupakan masjid terbesar dan masjid utama di Kota Stabat, Kabupaten Langkat.
Masjid Raya Stabat
Lokasi Masjid Raya Stabat
          Masjid ini berada di Kota Stabat, ibukota Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Tepatnya di sisi Sungai Wampu dan berada di pinggir Jalan Lintas Sumatera, Medan-Banda Aceh sebelum Jembatan Stabat. Kalo dari Medan masjidnya ada di sebelah kiri.

Sejarah Masjid Raya Stabat
Masjid ini dibangun dua tahun setelah pembangunan Masjid Azizi di Tanjung Pura, tepatnya mulai dikerjakan pembangunannya pada tahun 1904 semasa Kejuruan Stabat T HM Khalid.

Pada awal pembangunan, masjid ini hanya terdiri dari bangunan induk seluas 20 meter persegi delapan, ditambah teras dua meter keliling dan satu buah menara masjid. Saat itu jama’ah yang dapat ditampung hanya berkisar 300 orang.

Tapi sekarang Masjid Raya Stabat ini telah berkembang pesat, luas areal masjidnya saat ini menjadi 4.454 meter persegi dengan daya tampung mencapai 1350 jamaah. Fasilitas masjid juga dikembangkan seperti bangunan whudu’ wanita, perpustakaan masjid dan aula.

Arsitektur Masjid Raya Stabat
Masjid Raya Stabat ini memiliki arsitektur dengan corak Melayu Langkat yang khas yang terlihat dari warna masjidnya yang didominasi warna kuning dan hijau, warna kebesaran suku Melayu. Pada bagian kubah, kubah masjid ini terlihat menonjol yang menunjukkan ciri khas bangunan Melayu Langkat. Di bagian luar, terdapat pula lebih dari 100 tiang penyangga masjid untuk menahan bangunan masjid.
Tiang penyangga masjid di bagian teras
Pada bagian dalam masjid terlihat beberapa kaligrafi dari ayat-ayat suci Al-Qur’an. Selain itu juga terdapat beberapa corak lain yang khas. Sedangkan mimbar masjid ini menurut ku terlihat mirip dengan mimbar masjid di Masjid Azizi. 
Bagian dalam masjid dan mimbarnya
Kubah masjid bagian dalam
Puas mengagumi keindahan arsitektur masjid bersejarah ini, sholat ashar juga udah beres, aku pun melanjutkan perjalanan menuju Kota Medan dan berharap tidak sampe kemalaman. Akhirnya pukul 17.30 WIB aku sampe juga di sarang ternyaman, kost ku.

Gilak!

Rasanya pegal-pegal juga nih badan setelah seharian naik kereta menempuh jarak ratusan kilometer dari Kota Medan hingga Kota Kuala Simpang di Aceh Tamiang, dari Sumatera Utara hingga Provinsi Aceh. Dan gimana dengan kondisi keuangan kita? Ternyata cukup bahkan masih berlebih. Ini dia rincian biayanya.

Bensin dua kali ngisi Rp. 33.000
Makan Siang            Rp. 12.000
Pisang Sale              Rp. 10.000
            Total                        Rp. 55.000

Artinya dari duit Rp. 100.000 yang kubawa masih tersisa duit Rp. 45.000 lagi, siipppp... mantap. Masih bisa makan enak. Hahahaha....

So... dengan ini selesai deh perjalanan ku menembus batas Sumatera Utara-Aceh dengan uang kurang dari 100 ribu dan dengan destinasi yang bisa ku kunjungi yaitu PerbatasanSumut-Aceh, Istana Karang, Istana Benua Raja, Masjid Azizi, Makam Tengku AmirHamzah dan Masjid Raya Stabat. Sampai ketemu di cerita perjalanan selanjutnya kawan backpack sejarah.

Sabtu, 07 Januari 2017

Makam Tengku Amir Hamzah di Tanjung Pura



Makam Tengku Amir Hamzah
Yo sobat Backpack Sejarah, gimana kabar kalian hari ini? semoga baik-baik aja ya, amin... Kali ini aku ingin melanjutin cerita tentang edisi petualanganku menembus batasSumatera Utara-Aceh dengan uang kurang dari 100 ribu yang kemarin ku posting bulan Desember 2016.

Ya ampun... udah satu tahun nggak selesai mosting ceritanya gara-gara kemarin sibuk dan kehabisan kuota, sebagai travel blogger aku merasa gagal. Hiks... hiks... Tapi kali ini akan ku selesain kok, soalnya cuma tinggal 2 cerita lagi. Kalo nggak selesai juga, udah kurang ajar tuh namanya.

Nah, di postingan sebelumnya yang berjudul Masjid Azizi Tanjungpura, Masjid Kebanggaan Masyarakat Langkat, aku udah katakan bahwa di dalam komplek Masjid Azizi ini juga terdapat makam-makam dari pihak keluarga Kesultanan Melayu Langkat. Di sini juga merupakan lokasi pemakaman Tengku Amir Hamzah.
komplek pemakaman di sebelah Masjid Azizi
 Makam Tengku Amir Hamzah
Makam Tengku Amir Hamzah ini berada di tengah komplek pemakaman keluarga Kesultanan Melayu Langkat, makamnya telihat seperti makam-makam yang lain dengan nisan berwarna putih. Yang membedakan, di dekat makamnya terdapat sebuah batu prasasti berwarna kuning yang betuliskan “Pusara Pahlawan Nasional T. Amir Hamzah”.
Makam Tengku Amir Hamzah
Tengku Amir Hamzah

Emang siapa sih Tengku Amir Hamzah itu?

Jadi gini cuy, Tengku Amir Hamzah adalah salah satu pahlawan nasional yang berasal dari Sumatera Utara tepatnya dari Kabupaten Langkat. Beliau dilahirkan pada 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, Langkat. Tengku Amir Hamzah ini berasal dari keluarga bangsawan Kesultanan Langkat.

Hal tersebut pula lah yang kemudian membuat beliau bisa bersekolah di Mulo Batavia, kemudian beliau melanjutkan sekolah di AMS Solo dan lalu kembali ke Batavia untuk belajar hukum di Sekolah Hakim Tinggi hingga akhirnya meraih gelar Sarjana Muda Hukum. Meski berlatar belakang pendidikannya adalah di bidang hukum, tetapi posisinya sebagai putra bangsawan Kesultanan Langkat membawa Tengku Amir Hamzah masuk ke dalam lingkaran sastrawan.

Bahkan dalam karir sastranya, secara keseluruhan ada sekitar 160 karya Tengku Amir Hamzah yang berhasil dicatat. Di antaranya 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli dan 1 prosa terjemahan. Karya-karyanya tercatat dalam kumpulan sajak Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, Setanggi Timur dan terjemah Baghawat Gita.

Tengku Amir Hamzah pun berprestasi cukup besar di dunia sastra dengan membawa kesusastraan Indonesia memasuki era baru, era pujangga baru bersama Armjn Pane dan St. Takdir Alisjahbana. Mereka bertiga merintis majalah Pujangga Baru. Oleh sebab itu, bahkan HB Jassin menjulukinya “Raja Penyair Pujangga Baru”. Keren banget deh julukannya.

Namun kisah hidup Tengku Amir Hamzah berakhir cukup tragis, beliau yang kembali ke Tanah Langkat atas perintah sultan untuk menikahi putri Sultan Langkat kemudian mendapat posisi penting di dalam Kesultanan Melayu Langkat, pada akhirnya tewas terbunuh dalam peristiwa berdarah revolusi sosial tahun 1946 yang juga menghapus eksitensi kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Mayat beliau ditemukan dalam kondisi terpenggal. Sungguh tragis.

Itulah sedikit kisah tentang Tengku Amir Hamzah, sastrawan terkenal dari Tanah Langkat, Sumatera Utara. Setelah dari sini aku kemudian melanjutkan perjalanan pulangku menuju Kota Medan, tapi sebelumnya aku bakal singgah di satu tempat lagi. Tetap tungguin ya.

Brmmm.... Brmmm....
Masjid Azizi Tanjung Pura

Selasa, 20 Desember 2016

Masjid Azizi Tanjungpura, Masjid Kebanggaan Masyarakat Langkat



Masjid Azizi
Yo Sobat Backpack Sejarah, kali ini masih melanjutkan edisi petualanganku menembus batas Sumatera Utara-Aceh dengan uang kurang dari 100 ribu. Dan kali ini adalah cerita perjalanan pulangku, soalnya udah puas juga jalan-jalan ke Aceh walaupun cuma Aceh Tamiang dan hanya melihat Istana Karang dan Istana Benua Raja, tapi yang penting kan Aceh. Hahahaha...Apalagi tadi juga udah sempat liat-liat cewek Aceh. Hahaha....
Sebenarnya belum puas juga sih, tapi hari udah terlalu siang, bahaya juga kalo aku pulang kemalaman. Apalagi kondisiku kan naik kereta (baca:motor) dan uang di kantong cuma sisa 55 ribu dari 100 ribu yang ku bawa. Jika kemalaman dan terjadi sesuatu di jalan bisa bahaya ntar. So... sebelum magrib target udah harus nyampe ke Medan.
Meski pake target gitu, tapi tetap keamanan yang utama, jadi aku nggak ngebut-ngebut juga. Nikmati aja perjalanannya. Apalagi siang gini pas jam pulang anak sekolah, jadi bisa sekalian cuci mata. Hahahaha.... Sebelum pulang pun aku udah berencana untuk singgah ke beberapa tempat di Kabupaten Langkat dan yang pertama adalah Masjid Azizi.
Cowok ganteng singgah di Masjid Azizi
Lokasi Masjid Azizi
Masjid Azizi ini berada tepat di tepi jalan yang menghubungkan antara Kota Medan dengan  Banda Aceh, tepatnya di Kota Tanjungpura, Kabupaten Langkat. So... aku bisa singgah ke masjid ini saat pergi maupun pulang.

Sejarah Masjid Azizi
Masjid Azizi adalah masjid kebanggaan masyarakat Langkat dan merupakan peninggalan dari Kesultanan Melayu Langkat. Masjid ini dibangun pada tahun 1899 di masa pemerintahan Sultan Haji Musa hingga akhirnya selesai dan diresmikan oleh putranya, Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah pada tanggal 13 Juni 1902. Artinya usia nih masjid udah lebih dari 100 tahun. Wow... tua banget ya.

Dalam pembangunannya, masjid ini menggunakan bahan bangunan yang didatangankan sendiri dari Penang, Malaysia dan Singapura dengan menggunakan kapal ke Tanjungpura. Sedangkan pekerjanya banyak dari etnis Tionghoa dan masyarakat Langkat sendiri. Untuk rancangan masjidnya sendiri ditangani oleh seorang arsitek berkebangsaan Jerman.
arsitekturnya sangat indah
Arsitektur Masjid Azizi
Menurutku arsitektur Masjid Azizi adalah salah satu masjid dengan arsitektur terindah. Bangunannya yang megah dengan warna kuning yang warna khas Melayu Islam dipadukan dengan corak khas arsitektur Timur Tengah yang terlihat pada bagian dalam masjid dan arsitektur khas India yang terlihat dari bangunan fisik kubah dan menaranya.
Karena keindahan arsitekturnya ini, sampai-sampai pembangunan Masjid Zahir di Kedah, Malaysia menjadikan arsitektur Masjid Azizi sebagai rujukannya. #keren..
mimbar masjid
Oh ya, di samping masjid ini juga terdapat makam-makam para raja Langkat dan kerabatnya. Bahkan di sini juga ada makam T. Amir Hamzah, seorang pahlawan nasional Indonesia yang meninggal saat peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur.
Makam keluarga Kerajaan Langkat

Rabu, 14 Desember 2016

Menembus Batas Sumatera Utara-Aceh Part 1



Batas Sumatera Utara-Aceh

Long weekend dan kantong tipis adalah dua hal yang berbeda. Tapi jika mereka berdua bersatu, hal ini bisa menghancurkan dunia. Ya.... duniaku sih. Soalnya hal ini bisa membuatku mati kaku kebosanan. Apalagi aku ini orangnya mudah bosan dan nggak bisa diam di satu tempat.
Ironisnya, kedua hal tadi sering terjadi padaku. Mungkin karena kemampuan pengelolaan keuanganku yang masih kurang, apalagi banyak makanan yang menggoda selera. Haduh... lupa deh mau berhemat dan akhirnya duit yang tersisa Cuma 100 ribu doang.
Karena itulah dalam menghadapi sang monster ini aku harus berpikir keras gimana cara melewati long weekend dengan biaya kurang dari 100 ribu. Akhirnya terpikir untuk jalan-jalan ke Aceh aja.
“woy! Mana cukup ke Aceh bawa duit Rp. 100.000”
Cukup kok, soalnya aku cuma jalan-jalan ke Aceh Tamiang doang, satu kabupaten yang berbatasan langsung dengan Sumatera Utara dan bisa ditembuh hanya sekitar 4 jam dari Kota Medan. yang penting kan Aceh. Hahahaha.....
Sumpah! Rasanya harga diriku jatuh juga sih, masak ke Aceh cuma Aceh Tamiang doang. Soalnya orang ke Aceh itu kan tujuannya Banda Aceh dan Sabang. #hiks..hiks... Tapi nggak apa-apa, namanya juga lagi mode kere dan di Aceh Tamiang juga ada beberapa tempat yang menarik untuk dikunjungi, so.... berangkat...
Pagi-pagi banget aku, si cowok ganteng ini pun berangkat memulai ekspedisi menembus batas Sumatera Utara – Aceh. aceile.... keren kali katanya-katanya ah. Hahaha... Perjalanan ini melalui rute Medan-Binjai-Stabat-Tanjung Pura-Pangkalan Brandan. Aku pun cukup menikmati perjalanan ini, apalagi kondisi lalu lintasnya menuju Aceh cukup sepi jadi lebih nyaman.

Perbatasan Sumatera Utara - Aceh
Setelah 4 jam naik kereta (baca:kereta) dan setelah pantatku rasanya sama ratanya dengan jok dan sedikit terbakar. Ilang deh keseksian pantatku. Akhirnya sampai juga di pintu gerbang batas Sumatera Utara – Aceh dan aku resmi menginjak tanah Aceh. Yeee... horeee....
gapura perbatasan
Gerbang perbatasan antara Provinsi Sumatera Utara dengan Provinsi Aceh ini sendiri cukup sederhana. Bentuknya hanya seperti gapura biasa dan di sisinya terdapat dua tugu tinggi. Sedangkan di sebelahnya terdapat beton bertuliskan “WATAS ATJEH|SUMATERA UTARA”.
tugu di sisi gapura
Watas Atjeh-Sumatera Utara
Suasana di perbatasan ini juga cukup sepi dan sederhana, hanya ada beberapa warung dan kedai serta satu buah masjid. Sepi dan sederhana banget pun perbatasannya. Tapi rasanya cukup senang juga bisa sampai ke sini, karena sejauh ini baru Provinsi Riau yang pernah ku datangi, itupun bukan dalam rangka wisata. Jadi ku pikir ini adalah satu langkah kecilku untuk menuju tempat yang lebih jauh.
Puas berpanas-panasan di gapura perbatasan ini, aku pun melanjutkan perjalanan ke kota terdekat di Aceh ini agar pejalanan ini semakin sempurna. Di sana pun udah ku rencanain bakal ke Istana Karang dan Istana Benua Raja. Tunggu ceritaku selanjutnya ya sobat backpack sejarah.
Cowok ganteng panas-panasan