Rabu, 28 Oktober 2015

Desa Parmalim di Tanah Batak


Bale Pasogit
Sumatera Utara menyimpan banyak cerita yang menarik tentang masyarakatnya dan tentu saja tentang kekayaan adat istiadat dan budayanya yang dimilikinya. Di sini, di Sumatera Utara, kita masih dapat menjumpai penduduk asli yang masih memegang teguh adat istiadatnya, yang masih menjalankan agama dan budaya asli daerahnya.
            Lokasi
Di Desa Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir misalnya, di desa ini wisatawan dapat menjumpai sebuah perkampungan Parmalim yang masyarakatnya masih tetap bertahan memeluk agama Parmalim selama ratusan tahun dan tidak pudar dengan perkembangan zaman.
Agama Parmalim
Agama Parmalim memang hanya diakui sebagai aliran kepercayaan di bawah naungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Namun hingga kini, kepercayaan yang dianut Sisingamaraja XII  ini tetap terjaga di Tanah Batak. Agama Malim yang dalam bahasa Batak disebut Ugamo Malim adalah bentuk moderen agama asli suku Batak. Agama asli Batak tidak memiliki nama sendiri, tetapi pada penghujung abad kesembilan belas muncul sebuah gerakan anti kolonial. Pemimpin utama mereka adalah Guru Somalaing Pardede. Agama Malim pada hakikatnya merupakan agama asli Batak, namun terdapat pengaruh agama Kristen, terutama Katolik, dan juga pengaruh agama Islam.
Agama ini tidak mengenal Surga atau sejenisnya,sepeti agama umumnya, selain Debata Mula jadi Na Bolon (Tuhan YME) dan Arwah-arwah leluhu. Tujuan upacara agama ini memohon berkat dari Debata Mula jadi Na bolon (Tuhan YME), dari Arwah-arwah leluhur, juga dari Tokoh-tokoh adat atau kerabat-kerabat adat yang dihormati, seperti Kaum Hula-hula (dari sesamanya). Tuhan dalam kepercayaan Malim adalah "Debata Mula Jadi Na Bolon" (Tuhan YME) sebagai pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh "Umat Ugamo Malim" ("Parmalim").
Kepercayaan Parmalim sendiri cukup unik, rata-rata penganutnya asli keturunan Batak, namun kepercayaan ini mengharamkan penganutnya memakan babi, anjing, maupun darah. Menyantap makanan dari rumah keluarga yang tengah berduka (meninggal dunia) juga diharamkan.
Salah satu bangunan di komplek ibadah Parmalim
Rumah Ibadah Parmalim
Rumah ibadah Parmalim bernama Bale Pasogit, bentuk bangunannya menyerupai gereja pada umumnya dengan beberapa ukiran gorga, ukiran khas Batak. Namun, dilengkapi lapangan yang cukup luas yang digunakan umat Parmalim merayakan hari besar mereka. Di atas bubungan Bale Pasogit terdapat replika tiga ekor ayam, Lambang Tiga ayam ini punya warna yang berbeda, yaitu hitam lambang kebenaran, putih lambang kesucian dan merah lambang kekuatan atau kekuasaan. merupakan lambang ”partondion” (keimanan). Konon, menurut ajaran Parmalim, ada tiga partondian yang pertama kali diturunkan Debata ke Tanah Batak, yaitu Batara Guru, Debata Sori dan Bala Bulan. Sementara ayam merupakan salah satu hewan persembahan (kurban) kepada Debata.
3 Ayam di atap Bale Pasogit
Saya berfoto di depan Bale Pasogit

Minggu, 25 Oktober 2015

Cantiknya Persawahan di Tepian Danau Toba


Berbicara tentang keindahan Danau Toba memang seakan tidak ada habisnya. Budaya, arsitektur, sejarah dan tentu saja alamnya yang selalu menebar keindahan. Salah satu keindahan alam Danau Toba itu adalah persawahan di Tepian Danau Toba. Indah.
Lokasi

Alam persawahan mungkin sudah biasa kita lihat, tapi alam persawahan dengan latar pegunungan dan danau berair jernih mungkin jarang. Tapi di Desa Lumban Binanga, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Tobasa, semua itu dapat saya saksikan.
Landscape Alam
Persawahan yang hijau nampak teratur dengan rapi, di belakang persawahan tersebut saya dapat melihat pegunungan Toba yang menjulang tinggi. Dari beberapa spot yang sedikit tinggi, saya juga dapat melihat Danau Toba yang bersebelahan dengan persawahan tersebut.
Sawahnya berlatarkan pegunungan dan Danau Toba
Pemandangan di sini sangat menyegarkan dan berbeda, apalagi saat itu cahaya jingga keemasan dari sang mentari di ufuk barat tampak menyeruak dari celah pegunungan dan menghiasi hijaunya persawahan. Rasanya begitu tentram dan damai.
Cahaya senja yang menyinarinya menambah keindahan

Sabtu, 24 Oktober 2015

Spektrum Cahaya di Danau Toba Part II, Malam yang Dingin


Malam di Danau Toba

Setelah terpana menyaksikan indahnya sunset dari tepian Danau Toba, malam pun datang merayap membawa dingin yang menusuk hingga ke sum-sum tulang terdalam. Jika biasanya wisatawan yang bermalam di sekitaran Danau Toba memilih menginap di hotel, namun kami tidak memilih opsi tersebut karena kami memilih bermalam di pondok kecil yang hanya berjarak 5 meter dari Danau Toba.
Dinginnya cuaca malam itu di tepian Danau Toba memang bukan main-main guys, angin pegunungan yang bertiup melewati permukaan danau membawa butiran-butiran air menambah dinginnya malam di Danau Toba. Padahal jaket yang saya pakai cukup tebal, tetapi dinginnya tetap terasa menusuk tulang.
Untuk mengusir dingin, kami pun menikmati kopi hangat yang dijual di warung yang ada di sekitar tempat kami berkemah. Lumayan, bisa mengusir sedikit dingin yang terasa.
Setelah itu kami membuat api unggun agar suasana menjadi lebih hangat. Sayangnya kami tidak membawa sesuatu yang bisa dipanggang. Tapi tidak masalah, karena teman-teman yang lain mengisi malam dengan menyanyikan lagu yang diiringi gitar membuat suasana Alam Toba yang dingin menjadi semarak dan hangat.
Bersama teman menikmati minuman hangat
Pasang Api unggun bro
Kawan-kawan bermain gitar

Menghabiskan malam di tepian Danau Toba bersama teman-teman memang sangat mengasyikkan. Meski dinginnya membuat tubuh menggigil.

Jumat, 23 Oktober 2015

Spektrum Cahaya di Danau Toba Part III, Sunrise yang Membeku




Pesona Danau Toba memang tidak ada habisnya. Alam, sejarah, budaya, arsitektur dan banyak lagi pesona lainnya yang membuat Danau Toba benar-benar menjadi tempat wisata yang sangat sempurna untuk dikunjungi. Sunsetnya indah, apalagi sunrisenya. Mempesona kawan.
Setelah semalam sore terpana menyaksikan indahnya sunset di Danau Toba yang telah saya tulis di artikel sebelumnya, sekarang saya pun membuktikan indahnya sunrise di Danau Toba.
Lokasi
Lokasi saya menyaksikan sunrise ini masih sama yaitu di Desa Lumban Binanga (Lumbin), Kecamatan Laguboti, Kabupaten Tobasa.
Landscape Pagi

Pagi itu benar-benar dingin, dinginnya seolah-olah menusuk tulang hingga ke sum-sum tulang terdalam. Cee ile... kata-kataku dalam nggak? Tapi memang benar, cuaca pagi di Danau Toba memang sangat dingin. Meski pun dingin, pemandangannya sangat indah lho.
Spektrum cahaya pagi di Danau Toba
Ketenangan yang membeku

Suasana pagi itu cukup tenang sama seperti permukaan air Danau Toba  yang juga sangat tenang tanpa riak ombak. Berbeda dengan semalam sore yang berangin. Dalam ketenangan pagi itu pula perlahan sang raja siang bangkit. Perlahan-lahan langit yang tadinya gelap mulai menjadi cerah. Telihat bias jingga kemerahan di ufuk timur menyeruak diantara deretan Pegunungan Bukit Barisan. Lantas cahaya tersebut memantul di permukaan air danau yang tenang dan menjadi penanda para nelayan untuk mengangkat jaring yang telah disebar semalam sore. Kabut pagi yang perlahan hilang ditelan cahaya mentari pun seolah menambah romantisme pagi itu dan membawa kehangatan yang merasuk ke dalam jiwa. Hahaha...
Pak Nelayan siap berangkat
Siluet pagi