Jumat, 20 Maret 2020

Bakpia Pathok, 0 Kilometer dan si Dia

Hai sahabat backpacker....

Gimana kabarnya? Semoga sehat selalu ya, aamiin...

Maaf ya lama kagak update, soalnya beberapa hari ini sibuk ngurusin refund. Seharusnya beberapa hari ini aku traveling ke Malaysia karena kemarin dapat tiket liburan gratis ke sana. Tapi dengan kondisi yang seperti ini dan Kuala Lumpur yang di lock down, ambyar deh rencana travelingnya.

Jadi, sekarang deh bisa lanjut update, maaf ya kawan-kawan.

Setelah sebelumnya aku menikmati kerennya Museum Benteng Vredeburg, aku kemudian memutuskan untuk membeli oleh-oleh untuk orang-orang di rumah. Setelah mencari-cari informasi, katanya salah satu oleh-oleh khas dari Jogja adalah Bakpia Pathok. Oleh karena itu, aku pun memutuskan untuk membeli kue tersebut.

Brmm... Brmm....

Bakpia Pathok 25

Aku membeli kue Bakpia Pathok di Bakpia Pathok 25 yang ada di Jalan AIP KS Tubun, Yogyakarta. Sebenarnya di sini ada banyak jenis kue untuk oleh-oleh. Tapi aku cuma beli Bakpia Pathok saja. Bakpia Pathoknya pun punya banyak variasi rasa. Namun yang paling enak menurutku adalah varian rasa kacang ijo. Bakpianya lembut banget cuy. Hm.. nyummi...

Satu kotaknya berisi sekitar 15 biji. Aku pun beli tiga kotak dengan harga Rp. 105.000, alias satu kotaknya Rp. 35.000. oh ya, aku lupa motoin bakpianya, pas udah abis baru keinget. 😂
Bakpia Pathok 25
0 Kilometer

Setelah selesai dengan urusan oleh-oleh, aku berencana untuk menghabiskan sore sambil menunggu jadwal keberangkatan kereta api ku di 0 KM Jogja. Dan saat itu pula lah hp ku berbunyi menandakan ada satu pesan masuk di messenger.

“Kak, kamu masih di Jogja? Ketemuan yuk.” Begitu isi pesan tersebut dan pengirimnya adalah, ehem.. mantan.

“ masih kok. Ketemuan di 0 KM aja ya, kakak juga mau ke sana.” Balasku setelah memikir sesaat dan melihat kembali hati, ternyata aman. Udah move on. 😁

“ Ok deh, bentar lagi otw nih kak.”

“ Siip.. 👍.” Balasku singkat.

Tak begitu lama, aku pun kembali ke 0 KM Jogja. Tempat ini menurutku emang asyik banget buat nongkrong ngabisin waktu di sore hari. Ada banyak kursi-kursi yang tersedia mulai dari Jalan Malioboro sampe titik 0 Kilometernya. Kursinya ada yang berupa kursi kayu maupun kursi batu bulat. Di sekitarnya juga banyak pohon-pohon yang rindang, jadinya adem deh suasananya.

Udah gitu, katanya suasana 0 KM ini mirip ama Eropa gitu, tapi katanya sih, soalnya aku belum pernah ke Eropa. Tapi pemandangan di sekitarnya emang cakep sih, ada banyak lampu-lampu taman di pedestriannnya, terus di sekitarnya ada gedung-gedung peninggalan masa kolonial seperti gedung kantor pos, gedung bank BNI dan gedung Bank Indonesia yang mengapit jalan menuju alun-alun. Semakin sore, suasana di 0 KM ini makin rame dan makin meriah.
Gedung Kantor Pos dan Gedung Bank Indonesia

Suasana 0 KM kala malam menjelang

Gedung Bank BNI dari 0 KM Yogyakarta

Gedung Agung


Selain tiga bangunan peninggalan kolonial tadi, di samping 0 KM ini juga ada Gedung Agung Yogyakarta. Gedung ini dibangun pada Mei 1824 oleh pihak kolonial sebagai tempat tinggal Residen Belanda. Ketika pusat pemerintahan Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta, gedung ini menjadi Istana Kepresidenan dan menjadi tempat tinggal Presiden Soekarno.

Saat ini, Gedung Agung masih difungsikan sebagai Istana Kepresidenan yaitu sebagai kantor dan tempat tinggal presiden ketika berkunjung di Yogyakarta serta untuk menerima tamu-tamu negara. Sekarang, Gedung Agung juga dibuka untuk umum setiap hari senin sampe sabtu dari jam 8 pagi sampe jam 3 sore. Sayangnya aku ke sini udah jam 4 lebih, jadi kagak bisa masuk lagi. Asem. 
Geudng Agung Yogyakarta

Monumen Batik

Di 0 Kilometer ini juga ada satu monumen yang sangat bagus, yaitu Monumen Batik. Pada monumen ini tertulis bahwa pada tahun 2009 Batik Indonesia ditetapkan UNESCO sebagai “Warisan Budaya Tak Benda” dan pada tahun 2014 Yogyakarta dikukuhkan sebagai “ Kota Batik Dunia”. Keren banget cuy.
Monumen Batik
Monumen Serangan Umum 1 Maret

Di sisi yang berseberangan dengan Monumen Batik, ada Monumen Serangan Umum 1 Maret. Monumen ini dibangun untuk memperingati serangan tentara Indonesia terhadap Belanda pada 1 Maret 1949. Saat itu ketika negara Indonesia dianggap telah lumpuh, bahkan tidak ada oleh Belanda, serangan umum ini berhasil menduduki Yogyakarta selama 6 jam dan hal tersebut berhasil menaikkan moral para pejuang dan mematahkan propoganda Belanda. Keren banget cuy.
Monumen Serangan Umum 1 Maret
Ehem.. mantan

Setelah menunggu cukup lama sambil duduk nyantai di 0 KM ini, akhirnya orang yang ngajak ketemuan tadi nongol juga. Namanya Afni, dan dia ini ehem.. mantanku dulu saat masih SMA. Tapi sekarang udah move on kok. Rasa yang tinggal di dalam hati pun adalah rasa terima kasih, karena pernah menjadi warna di kehidupan SMA ku dan membuatku bisa berfikir untuk lebih dewasa lagi. Aceile... 😂

Tapi... Emang lebih cakep yang sekarang sih nih anaknya. Wkwkwkwk...

Kami berdua kemudian ngobrol-ngobrol santai di sana, bersama temaram senja. Bercerita kegiatan sehari-hari saat ini seperti kisahnya yang melanjutkan S2 di UGM dan kegiatan travelingku yang nggak jelas ntah kemana-mana. 😂

Kami juga bercerita tentang kabar dari orang-orang yang kami kenal dulu saat sekolah. Yupz... Kami bercerita sebagai teman yang telah lama tak bertemu dan akhirnya berjumpa lagi di tanah yang jauh dari kampung halaman.

Ketika hari semakin gelap dan senja semakin hilang, kami berdua pun berpisah, karena aku harus melanjutkan perjalanan ke Stasiun Lempuyangan untuk menuju destinasiku yang selanjutnya.
Stasiun Lempuyangan
Sampai jumpa lagi mantan.

Sampai jumpa lagi Jogja.
Ganteng juga berfoto di 0 Klometer ini

Jumat, 06 Maret 2020

Menatap Diorama di Museum Benteng Vredeburg

Tap... Tap... Tap...

Aku melangkah cepat menghindari sengatan matahari yang cukup terik siang ini melewati Gapura Pangurakan menuju 0 Kilometer Jogja setelah sebelumnya mengunjungi Museum Sonobudoyo. Sekarang tujuanku adalah Benteng Vredeburg yang letaknya nggak jauh dari 0 KM tersebut. Sebenarnya kemarin sore aku udah ngedatangi museum ini, tapi karena terlalu sore, museumnya udah mau tutup. Akhirnya hari ini deh baru aku ngunjunginnya lagi.
Museum Benteng Vredeburg
Lokasi Benteng Vredeburg

Benteng Vredeburg ini beralamat di Jalan Margo Mulyo, Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta. Benteng ini terletak tidak jauh dari 0 KM, Pasar Beringharjo, Taman Pintar, dan Gedung Agung.

Sejarah Benteng Vredeburg

Benteng Vredeburg ini mulai dibangun sejak tahun 1760-an oleh pihak Belanda atas seizin Sultan Hamengku Buwono I. Awalnya benteng ini cukup sederhana dengan bentuk bujur sangkar dan dinding terbuat dari tanah liat yang diperkuat tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren dan di empat sudutnya dilengkapi tempat penjagaan.

Karena terlalu sederhana, pihak Belanda meminta izin untuk memperkuat benteng menjadi bangunan permanen demi alasan keamanan. Katanya sih, padahal mah bentengnya buat nunjukin kekuasaan. Setelah selesai bangunan benteng tersebut dinamain Benteng Rustenburg yang berarti Benteng Peristirahatan.

Ketika gempa besar melanda Jogja di tahun 1867, benteng ini mengalami kerusakan sehingga dibangun kembali. Di dalamnya juga dilengkapi barak prajurit, gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Nama benteng ini pun diubah menjadi Benteng Vredeburg yang berarti benteng perdamaian, sebagai bukti tidak saling serang antara Belanda dengan Kesultanan.

Benteng ini sempat berganti-ganti kepemilikan, mulai dari VOC, Kerajaan Belanda, Inggris, Jepang, hingga Republik Indonesia. Meskipun demikian, tanah tempat benteng ini berdiri secara sah tetap milik Kesultanan Yogyakarta. Ya sama sih kayak raga ini, walau terkadang dimiliki orang-orang berbeda, tapi hatinya masih tetap miliki mu.

Wkwkwkwkwkwk #bucin

Padahal mah jomblo. 😂

Saat ini Benteng Vredeburg telah diakui sebagai salah satu bangunan cagar budaya dan kini difungsikan sebagai museum yang bisa dikunjungi oleh masyarakat umum.

Koleksi Museum Benteng Vredeburg

Setelah membeli tiket masuknya yang cuma Rp. 3000 saja perorang. Murah banget cuy. Aku pun segera masuk ke dalam benteng dan mulai menjelahi bangunan bersejarah ini. Di depan pintu gerbangnya terdapat plang penunjuk arah dari bagian-bagian bangunan benteng ini.
Plang penunjuk arah

Halaman Benteng Vredeburg

Patung pahlawan di halaman benteng
Aku pun memasuki satu demi satu ruangan museumnya. Ada satu hal menarik dari cara museum ini menampilkan kisah sejarah, yaitu museum ini menampilkan kisah sejarah bukan dengan cara memamerkan koleksi benda-benda bersejarah saja namun kebanyakan berupa diorama dan minidiorama yang menceritakan berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di sekitar Yogyakarta seperti diorama perang gerilya, sejarah Pangeran Diponegoro, sejarah pergerakan nasional seperti berdirinya Taman Siswa, Muhammadiyah hingga peristiwa-peristiwa bersejarah lainnya.
Diorama perang gerilya

Koleksi minidiorama

Diorama perjuangan Pangeran Diponegoro

Diorama berdirinya Taman Siswa

Diorama-diorama ini mengingatkanku pada museum di Monumen Nasional yang menampilkan diorama-diorama juga.

Selain diorama, katanya museum ini juga menampilkan koleksi berupa benda-benda peninggalan bersejarah. Namun saat aku berkunjung, ruangannya lagi direnovasi, jadi kagak keliatan deh. Selain itu aku juga nemuin ruang audiovisual di lantai dua yang menampilkan film-film sejarah dan perjuangan, tapi ruangannya juga tutup.
 -_-“.
Koleksi museum
Akhirnya aku memilih naik ke atas benteng, dari atas seru juga sih, bisa ngeliatin 0 KM Jogja dari ketinggian, tapi karena cuaca yang lagi terik, aku nggak berlama-lama di atas, takut item ntar.
Pemandangan dari atas benteng

Moto orang nggak dikenal
Setelah selesai menjelajahi setiap bagian Museum Benteng Vredeburg ini, aku pun segera keluar dari benteng. Rencananya sih aku mau beli oleh-oleh, lalu kemudian menunggu jadwal keberangkatan kereta api di 0 KM. Sepertinya asyik juga.

Ting...

Tiba-tiba terdengar suara notifikasi di hpku yang menandakan ada pesan yang masuk di Messenger. Segera aku membukanya.

kak, kamu masih di Jogja? Ketemuan yuk!

Bersambung.... 
Aku dan Museum Benteng Vredeburg

Senin, 02 Maret 2020

Mengenal Sejarah dan Budaya Jawa di Museum Sonobudoyo Yogyakarta

Setelah sebelumnya aku nggak sengaja menemukan Masjid Keraton Soko Tunggal di kawasan Taman Sari, aku kemudian beranjak ke Masjid Gedhe Kauman untuk sholat Jumat di sana. Setelah itu baru deh makan di angkringan yang ada di halaman masjid. Ini nih enaknya Jogja, makanannya murah-murah. Nggak nyampe Rp. 10.000, perut udah kenyang dengan makanan angkringan yang murah-murah. Mantap cuy.

Setelah mengisi perut, aku pun melanjutkan petualanganku di Bumi Jogja ini. Apalagi ini hari terakhirku di sini, jadi harus dimaksimalkan jalan-jalannya. Tujuanku selanjutnya adalah Museum Sonobudoyo yang tidak begitu jauh dari Masjid Gedhe Kauman ini.

Tap..tap..tap.. nggak lama jalan kaki, sampe juga aku di halaman museumnya.
Museum Sonobudoyo

Alamat Museum Sonobudoyo


Museum Sonobudoyo ini letaknya di Jalan Pangurakan No. 6, Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta. Letaknya ada di sisi utara dari Alun-Alun Utara Yogyakarta. Jadi mudah banget buat ngunjungi museum ini, karena berada di pusat kota dan dekat dari objek-objek wisata lainnya.

Oh ya, tiket masuknya juga murah banget, perorangnya cuma bayar Rp. 3000 aja sebagai tiket masuknya. Murah meriah cuy. Btw ini juga sih yang bikin aku suka ngunjungi museum, soalnya tiket masuknya murah dan ada banyak hal yang bisa dilihat di dalam, terus dapat ilmu dan pengetahuan juga. Mantap banget kan?

Makanya, hayuk ke museum!

Sejarah Museum Sonobudoyo

Museum Sonobudoyo ini awalnya adalah sebuah yayasan yang bergerak di bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali, Lombok yang berdiri tahun 1919 di Surakarta dengan nama Java Instituut. Dengan tujuan untuk mengumpulkan kebudayaan dari daerah-daerah tersebut, maka Java Instituut ini ingin mendirikan sebuah museum dan museumnya pun didirikan di Yogyakarta dengan tanah yang diberikan oleh Sultan Hamengku Buwono VII. Peresmiannya pun dilakukan langsung oleh Sultan pada tanggal 6 November 1935.
Prasasti pembangunan Museum

Koleksi Museum Sonobudoyo

Setelah membeli tiket masuknya yang murah meriah, seharga nasi angkringan, aku pun segera masuk dan menjelajahi ruangan demi ruangan di museum ini. Di bagian paling depan terdapat koleksi gamelan yang sangat lengkap. Saking lengkapnya, aku pun nggak tau nama jenis-jenisnya.
Gamelan

Beranjak ke bagian dalam, aku melihat ruangan yang berisi koleksi dari peninggalan masa prasejarah. Di dalamnya terdapat banyak tengkorak, bahkan ada satu kuburan kaca yang berisi kerangka manusia purba. Iiii.... Serem.

Tapi katanya itu cuma replika aja. 😂

Selain itu juga ada beberapa peralatan dari batu dan tulang yang digunain pada masa prasejarah.
Tengkorak manusia purba

Kerangka di dalam museum

Di ruangan selanjutnya terdapat ruang klasik dan peninggalan Islam. Di sini juga ada Al-Qur'an tua hingga kitab-kitab kuno. Sayang aku nggak bisa baca isi kitab nya, kan mana tau isinya tentang ilmu kanuragan. 😂
Salah satu catatan kuno koleksi museum

Ruangan selanjutnya berisi berbagai kesenian dan kebudayaan seperti batik dan alat-alat batik, lalu ada koleksi wayang yang beraneka ragam, ada juga koleksi topeng yang terbuat dari kayu. Selanjutnya juga ada koleksi berbagai macam jenis keris. Ternyata keris pun ada bermacam-macam dan memiliki banyak makna. Bahkan jumlah lekuknya juga punya makna tersendiri. Keren...
Batik dan alat-alatnya

Koleksi wayang

Koleksi keris

Di bagian ujung, terdapat pula koleksi berupa permainan-permainan tradisional yang dulunya biasa dimainin para anak-anak seperti ketapel, tembak-tembakan, congklak, kapal othok-othok dan banyak lagi jenis permainan tradisional lainnya. Ngelihat koleksi permainan tradional ini membuatku jadi bernostalgia. Ah.. jadi inget masa saat masih jadi anak-anak.
Permainan tradisional

Koleksi terakhir adalah koleksi budaya Bali. Katanya sih budaya Bali dan Jawa itu memiliki kemiripan. Karena itu benda-benda budaya Bali juga tersimpan di dalam museum ini. Di ruangan terakhir ini terdapat beberapa artefak dan ukiran yang memiliki ciri khas budaya Bali.

Setelah selesai menjelajahi satu demi satu ruangan di Museum Sonobudoyo ini, aku pun segera keluar dari museum untuk melanjutkan petualangan ke destinasi selanjutnya. Let's go...
Museum Sonobudoyo

Senin, 17 Februari 2020

Nggak Sengaja Nemu Masjid Keraton Soko Tunggal Yogyakarta

Masjid Keraton Soko Tunggal
Hai sahabat backpacker...

Apa kabar kalian? Semoga sehat selalu ya, aamiin...

Nggak kerasa ternyata lebih juga satu bulan aku kagak aktif ngeblog, ada yang kangen kagak ya? 😂

Soalnya kemarin tuh, aku emang ada beberapa kegiatan yang menyita waktu banget dan sekarang deh baru bisa nulis lagi. Jadi, sekarang aku bakal lanjutin kisah petualanganku di Bumi Yogyakarta yang penuh cerita dan bikin kangen ini. Let's go.

Setelah sebelumnya aku berhasil menemukan Masjid Bawah Tanah di Sumur Gumuling dan selesai untuk berfoto-foto di bangunan bersejarah yang instagrammable tersebut, aku kemudian memutuskan untuk keluar dan melanjutkan penjelajahan di Bumi Jogja ini dan mengunjungi objek wisata lainnya.

Setelah melalui lorong-lorong panjang dan berliku, akhirnya aku tiba juga di pintu keluar Sumur Gumuling. Dari sana aku lanjut berjalan ke kawasan parkir Taman Sari sambil berfikir destinasi selanjutnya.

Saat berfikir tersebut, mata ini malah nggak sengaja melihat bangunan masjid dengan plang yang bertuliskan “Masjid Keraton Soko Tunggal Yogyakarta.” Dari artikel-artikel yang pernah ku baca di internet, Masjid Soko Tunggal ini adalah salah satu masjid unik dan bersejarah di Yogyakarta. Beuhh... Mantap banget lha, lagi nyantai di parkiran malah nemu bangunan unik dan bersejarah. Dengan segera aku ngeluarin kamera dan melihat-lihat masjid unik dan bersejarah ini.
Plang Masjid Keraton Soko Tunggal

Lokasi Masjid Soko Tunggal

Masjid Keraton Soko Tunggal ini beralamat di Jalan Taman I, Kelurahan Patehan, Kecamatan Keraton, Kota Yogyakarta. Posisinya pas banget di pintu masuk ke tempat wisata Taman Sari. Jadi nggak sulit buat ngunjungin masjid ini.

Sejarah Masjid Soko Tunggal

Berdasarkan batu prasasti yang terukir di dinding masjid ini, Masjid Keraton Soko Tunggal selesai dibangun pada hari Jumat Pon, tanggal 21 Rajab 1392 H atau 1 September 1972 M dan diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada hari Rabu Pon tanggal 28 Februari 1973 M.
Batu Prasasti pembangunan masjid
Arsitektur Masjid Soko Tunggal

Pembangunan Masjid Keraton Soko Tunggal diarsiteki oleh R. Ngabehi Mintobudoyo yang merupakan arsitek Keraton Yogyakarta terakhir. Desain masjid ini berbentuk tajug dengan keunikannya yaitu hanya memiliki satu tiang yang terletak di tengah-tengah masjid. Soalnya pada umumnya bangunan-bangunan khas Jawa memiliki minimal empat tiang, namun masjid ini cuma memiliki satu tiang doang.
Satu tiang di tengah masjid
Selain keunikan satu tiang tersebut, masjid ini juga punya banyak makna simbolis pada desain artsitekturmya. Seperti tiangnya yang cuma satu dan ditopang 4 tiang saka bentung. Hal ini melambangkan Pancasila dengan tiang utama merupakan sila pertama.

Selain itu, masih banyak lagi keuikan-keunikan lainnya yang dapat dilihat dari desain arsitektur masjid ini. Sayangnya saat itu masjid ini lagi dibersihkan karena sebentar lagi waktu Sholat Jum'at udah dekat, jadi aku lumayan segan untuk memotret lebih jauh.
Bagian teras masjid

Masjid Soko Tunggal

Papan penunjuk arah

Bagian atap masjid

Apalagi aku juga udah mutusin buat Sholat Jum'at di Masjid Gedhe Kauman. Jadi setelah merasa cukup, aku pun melanjutkan perjalanan menuju Masjid Gedhe. Let's go...
Aku di depan Masjid Keraton Soko Tunggal

Minggu, 05 Januari 2020

Menemukan Masjid Bawah Tanah di Sumur Gumuling

Hai sahabat backpacker...

Seperti di ceritaku yang sebelumnya di Taman Sari, aku menemukan fakta kalo Taman Sari ini masih memiliki satu bagian lain yang tersembunyi, yaitu Sumur Gumuling alias masjid yang ada di bawah tanah.
Sumur Gumuling
Hal tersebut tentu terdengar sangat menarik dan unik buatku. Oleh karena itu, setelah aku puas melihat-lihat di Taman Sari ini, aku pun segera menuju Sumur Gumuling. Tapi masalahnya adalah tidak ada satupun penunjuk arah menuju tempat tersebut.

“Permisi buk, mohon maaf, kalo mau ke Sumur Gumulung ke arah mana ya buk?” Tanyaku sesopan mungkin pada ibuk-ibuk yang sedang santai di depan rumahnya.

“Sini ibuk antar aja. Rp. 15.000 aja kok.” Jawab si ibuk semangat.

Alamak.... Tiket masuk ke Taman Sari dan Sumur Gumuling aja cuma Rp. 5000, masak nunjukin jalannya lebih mahal sih. Kata-kata itu cuma bisa kuucapin dalam hati.

Tentu aku paham juga sih, kalo ini menjadi salah satu pendapatan yang bisa dimanfaatin penduduk sekitar sebagai orang-orang yang tinggal di sekitar objek wisata. Tapi maaf buk, aku orangnya lebih suka menjelajah dan berpetualang. Jadi, dari pada minta anterin, rasanya lebih menarik jika mencari sendiri dengan cara menjelajah.

Padahal mah pelit. Wkwkwkwkwk....

Dengan mengandalkan insting dan naluri, aku berjalan menelurusi perkampungan di sekitar Taman Sari. Binggo!! Tak lama kemudian, aku beneran nemuin pintu masuk ke Sumur Gumuling. Mantap.
Perkampungan di sekitar Taman Sari

Pintu masuk ke Sumur Gumuling
Alamat Sumur Gumuling

Sumur Gumulimg ini terletak di Patehan, Kecamatan Keraton, Yogyakarta. Lokasinya nggak begitu jauh dari Taman Sari. Kalo jalan kaki, nggak sampe 5 menitan.
Plang Situs Sumur Gumuling
Sejarah Sumur Gumuling

Sumur Gumuling ini dibangun bersamaan dengan Taman Sari karena emang udah sepaket. Tepatnya dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1758 hingga tahun 1765. Untuk sejarah lengkapnya, bisa kawan-kawan liat di ceritaku yang sebelumnya.

Arsitektur Sumur Gumuling

Setelah menunjukkan tiket yang ku beli saat masuk ke Taman Sari, petugas pun mempersilahkan aku untuk memasuki Sumur Gumuling. Dari pintu masuk aku menelusuri lorong-lorong panjang untuk mencapai pusat dari Sumur Gumuling. Konon, dulunya untuk mencapai tempat ini harus melalui terowongan bawah air. Wuihhh... Nggak kebayang gimana kerennya bangunan ini pada saat itu.
Lorong-lorong di Sumur Gumuling
Lorong yang berliku dengan dinding yang tebal juga dipercaya agar bangunan ini bisa menjadi benteng pertahanan apabila musuh menyerang.

Setelah beberapa saat melalui lorong-lorong yang berliku, akhirnya aku sampe juga di sebuah area melingkar berlantai dua dengan rongga pada atap kubahnya. Kedua lantai tersebut dihubungkan dengan empat anak tangga menuju pelataran kecil dan satu tangga menuju lantai dua. Tangga tersebut melambangkan rukun iman, dengan satu tangga ke atas yang melambangkan rukun yang kelima, yaitu naik haji jika mampu.
Tangga di Pusat Sumur Gumuling

Moto orang yang nggak dikenal
Sumur Gumuling ini dulunya difungsikan sebagai masjid bawah tanah. Pada salah satu sisi dindingnya terdapat ceruk yang menjadi tempat untuk imam memimpin sholat. Lantai satunya untuk jamaah perempuan dan lantai duanya untuk jemaah laki-laki. Desain Sumur Gumuling ini juga memungkinkan masjid ini tidak butuh pengeras suara karena desainnya membuat suara imam bisa terdengar ke penjuru Sumur Gumuling. Keren banget cuy! 
Curuk tempat imam

Setelah puas menikmati indahnya Sumur Gumuling ini dan gagal buat foto-foto di tangganya dan malah moto orang yang nggak dikenal, aku akhirnya memutuskan untuk keluar dari Sumur Gumuling dan menuju destinasi selanjutnya. Lets go.... 
Pintu keluar Sumur Gumuling


Cuma bisa selfie di Sumur Gumuling