Jumat, 07 April 2017

Alhamdulillah, Menang d'Traveler of The Year 2016



Assalamu’alaikum...

Yo sobat Backpacker..
Gimana kabar kalian? semoga selalu sehat ya kawan-kawan. Amin...

Wah... rasanya udah lama juga ya aku nggak pernah update cerita terbaru, bahkan rasanya aku juga sangat jarang ngunjungi blog ini. Kalo blog ini bisa ngomong, pasti dia ngamuk nih ama aku karena nggak diperhatiin dan kurang mendapat kasih sayang. Eh...  Seperti pemiliknya. Hahahaha....

Sebenarnya bukan aku males atau gimana ya, tapi beberapa waktu terakhir ini aku emang cukup sibuk. Soalnya aku harus ngumpulin uang untuk sesuatu yang besar dan sangat penting. Apakah itu??? Tet..tet.. tet... ntar ku kasi tau, biar kalian penasaran. Haha...

Nah, jadi demi ngumpulin uang ini, aku pun pulang ke kampung ku di plosok Asahan, tepatnya di Desa Pematang Sei Baru, Kecamatan Tanjung Balai. Desaku ini tergolong cukup plosok dengan kondisi jalan yang cukup parah, eh... sangat parah maksudku. Selain itu, sinyal hp juga cuma ada edge, itupun adanya saat listrik hidup. Masalahnya, di desa ini setiap hari pasti ada pemadaman listrik yang terkadang sebentar dan seringnya sih lama. So... sinyalnya pun ilang-ilang, seperti kamu, iya, kamu...

#Derita Kampung Plosok
Jalan menuju desa, 10 KM kayak gini
Di kampung ini aku kerja melaut bareng uwak menjadi nelayan penjaring ikan bawal. Yupz... aku berasal dari keluarga nelayan kecil. Sorenya aku juga menjaga warung kecil milik mamak. #semangat

Sebenarnya buat apa sih uang ini?


Jadi gini cuy, setiap tahun kan detik travel mengadakan kompetisi yang bernama d’traveler of the year tuh. Kompetisi ini adalah ajang penghargaan bagi member detik travel yang berkontribusi aktif di detik travel selama setahun penuh. Kategorinya pun bermacam-macam, ada d’traveler terbaik, artikel dan foto terbaik, d’traveler dengan artikel terbanyak, artikel yang paling banyak dibaca serta artikel yang paling banyak dishare di medsos.

 Tahun 2015 yang lalu alhamdulillah aku berhasil menang di kategori most published atau kategori member dengan artikel terbanyak dan aku mendapatkan hadiah sebuah smartphone Samsung Galaxy A3. Smartphonenya keren banget cuy.

Dan kabar baiknya, di tahun 2016 ternyata aku berhasil kembali menang di kategori yang sama dengan jumlah artikel mencapai 97 artikel. Pemenangnya sendiri diumumin tanggal 9 Febuari kemarin. Hadiah yang kudapat adalah wisata kapal pesiar ke Singapura selama 4 hari yang kemudian diubah pihak penyelenggara menjadi Wisata kapal pesiar ke Filipina, Taiwan dan Hongkong selama 6 hari. 6 hari cuy.
97 Artikel
Dapat juara 1 most published
Gilak banget kan hadiahnya? Tapi alhamdulillah, aku sangat-sangat bersyukur karena ini akan menjadi pengalaman pertamaku keluar negeri. Rasanya sungguh bahagia banget bisa menang dan mendapat hadiah ke luar negeri. Rasanya seperti mimpi. Eh.. ini bukan mimpi kan?

Sebenarnya aku juga berhasil menang di peringkat dua untuk kategori most shared atau artikel paling banyak dishare di medsos dengan judul artikel Satu lagi Danau Cantik di Sumatera Utara, Danau Cadika Pramuka, namun hadiahnya diberikan ke orang yang peringkatnya di bawahku biar hadiahnya nggak double. Sedikit sedih sih karena nggak ikut ke Derawan tapi nggak apa-apa lha. Rezeki mah harus bagi-bagi, biar lebih berkah.
Peringkat 2 kategori most shared
Sayangnya di kategori foto instagram, pihak detik travel melakukan sedikit kehilafan, yaitu pengumuman pemenangnya sempat bermasalah karena ternyata pemenangnya tidak memenuhi syarat regram dan tag akun. Tentu hal ini agak disayangkan, namun tim detik travel dengan cepat mengakui kesalahannya dan mengumumkan pemenang sebenarnya.

Sayangnya walau udah mengakui kesalahan, namun masih banyak netizen yang menghujat kompetisi ini. Bahkan yang saya sayangkan, ada satu orang travel blogger yang selama ini aku kagumi karya-karyanya malah ngomong kalo perlombaan ini hanyalah settingan detik travel. Tentunya perkataannya itu sedikit menyakiti perjuanganku. Karena dia kan tidak tau gimana perjuangan kami sebagai member d’traveler selama setahun penuh terus berkontribusi untuk menulis sambil mengenalkan pariwisata di sekitar kami. Setahun penuh kami benar-benar berjuang dengan keringat kami sendiri dan benar-benar berjuang dengan sungguh-sungguh, dan ini bukanlah settingan seperti yang ia tuduhkan. 

Tapi ya sudahlah, jika ia kalah wajar dia kecewa, namun kuharap ke depannya ia tidak asal menuduh seperti itu. Karena selain menyakiti rasa perjuangan orang lain, itu juga membuat rasa kagumku kepada karya-karyanya menjadi hilang.

Jadi begitulah teman-teman, karena aku memenangkan hadiah keluar negeri, maka aku pun harus menambah isi kantongku. Karena meski tiket, akomodasi dan makan telah ditanggung pihak detik travel dan sponsor (Antavaya), tapi pasport dan pengeluaran pribadi kan harus ditanggung sendiri. Itulah alasanku jadi cukup lama nggak update.

Semoga setelah ini aku bisa kembali update ya kawan-kawan, biar ntar aku ceritain gimana pengalamanku di kapal pesiar.

Daaaa.....

Selasa, 17 Januari 2017

Pantai Janggawari, Pantai Tiga Rupa di Asahan



Pantai Janggawari
Yo Sobat Backpack Sejarah, rasanya udah lama juga aku, si cowok ganteng ini nggak pulang ke kampung halamanku yang ada di plosok Asahan sana. So... dalam kesempatan libur kali ini aku pun menyempatkan diri untuk pulang sejenak. Kalo nggak, ntar malah dikira Bang Toyib pulak yang nggak pulang-pulang. Hahahaha....

Dalam libur kali ini aku dapat informasi kalo sekarang ada beberapa objek wisata baru di sekitar kampung ku. Wow.... kalo kayak gini kan jadi mudah buat liburan nih dan bisa eksplore wisata kampung sendiri. Jadi dengan semangat yang membara dan menggebu-gebu aku pun menyusun jadwal jalan-jalan di antara jadwalku yang padat. #SokSibuk #PadahalPengangguran.

Objek wisata pertama yang mau ku kunjungi adalah Pantai Pasir Putih Janggawari yang kusingkat Pantai Jangga, soalnya nama nih pantai kepanjangan, susah ngetiknya.

Lokasi Pantai

Alasan pantai ini jadi yang pertama ku datangi adalah karena pantai ini lokasinya sangat dekat dari rumahku. Cuma di desa sebelah yang kalo naik kereta (baca:motor) paling hanya 15 menit aja dan kalo guling-guling paling juga masuk parit. Hahaha...

Pantai ini tepatnya berada di Dusun Janggawari yang masuk dalam wilayah Desa Silau Baru, Kecamatan Silau Laut, Kabupaten Asahan.
Penunjuk arah sederhana
Setelah mengajak sepupu-sepupuku untuk berangkat bareng, kami pun berangkat menuju pantai. Cusss... Karena ini adalah pantai yang baru dibuka sebagai objek wisata, jadi kondisi jalannya pun masih seadanya dan kondisi lapangan parkirnya juga masih apa adanya. Dari parkiran kami masih harus jalan kaki sekitar 5 menit melalui hutan bakau.
Jalan kaki dari parkiran cuy
Tapi ini sudah lumayan, soalnya kata sepupuku, Si Wahyu, Si Daus dan Si Tuah, sebelum ada jalan ini, mereka dan teman-teman sekolahnya biasanya melalui jalur lumpur biar nyampe ke pantai ini. Busyet deh, keliatan banget kurang pikniknya, hahaha... tapi gara-gara itu penduduk setempat berinisiatif membuka jalan menuju pantai ini. Terima kasih buat kalian, kalian luar biasa.

Pantai Tiga Rupa

Setelah jalan kaki sebentar, akhirnya nyampe juga ke Pantai Jangga. Pantainya sendiri khas pantai di Pesisir Timur Pulau Sumatera dengan airnya yang nggak biru toska tapi keruh dan cenderung berlumpur. Jadi kalo untuk maen air mah nggak bakal enak. Kondisi ini emang udah khas pantai-pantai di Pesisir Timur Pulau Sumatera sih, soalnya kondisi dasar lautnya memang lebih berlumpur gitu, bukan terumbu karang.

Tapi bukan berarti pantai ini nggak punya sisi eksotisnya lho. Malah menurutku keeksotisan pantai ini jarang ada di pantai lain, keseksotisannya yaitu pantainya punya tiga sisi lanskap yang berbeda.

Sisi yang pertama berada tepat di pintu masuk pantai, sisi ini punya lanskap berupa dataran pasir terbuka dengan pasir kasar bercampur kulit kerang.
Pantai dengan lanskap daratan terbuka
Sisi yang kedua berada di bagian tengah, sisi ini punya pemandangan berupa hutan mati, jadi di sini banyak batang-batang pohon mati yang masih berdiri. Pasir di bagian ini masih terasa kasar tapi tidak bercampur dengan kulit kerang.
Pantai hutan mati
Sisi yang ketiga berada di bagian ujung pantai, sisi ini dihiasi berbagai pepohonan rindang nan sejuk. Pasir di bagian ini juga paling lembut dan tidak bercampur dengan kulit kerang.
Pantai adem
Gimana?
Keren banget kan?

Satu pantai tapi punya tiga rupa berbeda. Oh ya, di ujung pantai ini juga terlihat samar-samar Pulau Salah Namo. Selain itu terlihat juga banyak burung-burung bangau yang lagi mencari makan. Melihat bangau-bangau itu makan aku juga jadi laper. So... saatnya buka bontot dan makan bersama. Nyam..nyam... nikmat banget ah makan di pantai bareng-bareng gini, jangan ngiler ya sobat backpack sejarah. Hahaha....
Makan bareng saudara
cowok ganteng menikmati pantai

Senin, 09 Januari 2017

Masjid Raya Stabat



Brmmm.... Brmmm...

Aku terus memacu kereta (baca: motor) ku dalam perjalanan pulang menuju Kota Medan setelah selesai dari perjalanan edisi menembus batas Sumatera Utara-Aceh dengan uang kurang dari 100 ribu. Setelah sebelumnya singgah di Masjid Azizi, Tanjungpura, Kabupaten Langkat. Akhirnya aku sampai juga di Kota Stabat, ibukota Kabupaten Langkat. Berhubung waktu ashar sudah hampir tiba, aku kemudian membelokkan kereta ke arah parkiran Masjid Raya Stabat.
Singgah dulu
 Skip skip

Masjid Raya Stabat
Masjid Raya Stabat merupakan salah satu masjid peninggalan bersejarah  yang ada di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara selain Masjid Raya Azizi yang ada di Tanjung Pura. Masjid ini juga merupakan masjid terbesar dan masjid utama di Kota Stabat, Kabupaten Langkat.
Masjid Raya Stabat
Lokasi Masjid Raya Stabat
          Masjid ini berada di Kota Stabat, ibukota Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Tepatnya di sisi Sungai Wampu dan berada di pinggir Jalan Lintas Sumatera, Medan-Banda Aceh sebelum Jembatan Stabat. Kalo dari Medan masjidnya ada di sebelah kiri.

Sejarah Masjid Raya Stabat
Masjid ini dibangun dua tahun setelah pembangunan Masjid Azizi di Tanjung Pura, tepatnya mulai dikerjakan pembangunannya pada tahun 1904 semasa Kejuruan Stabat T HM Khalid.

Pada awal pembangunan, masjid ini hanya terdiri dari bangunan induk seluas 20 meter persegi delapan, ditambah teras dua meter keliling dan satu buah menara masjid. Saat itu jama’ah yang dapat ditampung hanya berkisar 300 orang.

Tapi sekarang Masjid Raya Stabat ini telah berkembang pesat, luas areal masjidnya saat ini menjadi 4.454 meter persegi dengan daya tampung mencapai 1350 jamaah. Fasilitas masjid juga dikembangkan seperti bangunan whudu’ wanita, perpustakaan masjid dan aula.

Arsitektur Masjid Raya Stabat
Masjid Raya Stabat ini memiliki arsitektur dengan corak Melayu Langkat yang khas yang terlihat dari warna masjidnya yang didominasi warna kuning dan hijau, warna kebesaran suku Melayu. Pada bagian kubah, kubah masjid ini terlihat menonjol yang menunjukkan ciri khas bangunan Melayu Langkat. Di bagian luar, terdapat pula lebih dari 100 tiang penyangga masjid untuk menahan bangunan masjid.
Tiang penyangga masjid di bagian teras
Pada bagian dalam masjid terlihat beberapa kaligrafi dari ayat-ayat suci Al-Qur’an. Selain itu juga terdapat beberapa corak lain yang khas. Sedangkan mimbar masjid ini menurut ku terlihat mirip dengan mimbar masjid di Masjid Azizi. 
Bagian dalam masjid dan mimbarnya
Kubah masjid bagian dalam
Puas mengagumi keindahan arsitektur masjid bersejarah ini, sholat ashar juga udah beres, aku pun melanjutkan perjalanan menuju Kota Medan dan berharap tidak sampe kemalaman. Akhirnya pukul 17.30 WIB aku sampe juga di sarang ternyaman, kost ku.

Gilak!

Rasanya pegal-pegal juga nih badan setelah seharian naik kereta menempuh jarak ratusan kilometer dari Kota Medan hingga Kota Kuala Simpang di Aceh Tamiang, dari Sumatera Utara hingga Provinsi Aceh. Dan gimana dengan kondisi keuangan kita? Ternyata cukup bahkan masih berlebih. Ini dia rincian biayanya.

Bensin dua kali ngisi Rp. 33.000
Makan Siang            Rp. 12.000
Pisang Sale              Rp. 10.000
            Total                        Rp. 55.000

Artinya dari duit Rp. 100.000 yang kubawa masih tersisa duit Rp. 45.000 lagi, siipppp... mantap. Masih bisa makan enak. Hahahaha....

So... dengan ini selesai deh perjalanan ku menembus batas Sumatera Utara-Aceh dengan uang kurang dari 100 ribu dan dengan destinasi yang bisa ku kunjungi yaitu PerbatasanSumut-Aceh, Istana Karang, Istana Benua Raja, Masjid Azizi, Makam Tengku AmirHamzah dan Masjid Raya Stabat. Sampai ketemu di cerita perjalanan selanjutnya kawan backpack sejarah.

Sabtu, 07 Januari 2017

Makam Tengku Amir Hamzah di Tanjung Pura



Makam Tengku Amir Hamzah
Yo sobat Backpack Sejarah, gimana kabar kalian hari ini? semoga baik-baik aja ya, amin... Kali ini aku ingin melanjutin cerita tentang edisi petualanganku menembus batasSumatera Utara-Aceh dengan uang kurang dari 100 ribu yang kemarin ku posting bulan Desember 2016.

Ya ampun... udah satu tahun nggak selesai mosting ceritanya gara-gara kemarin sibuk dan kehabisan kuota, sebagai travel blogger aku merasa gagal. Hiks... hiks... Tapi kali ini akan ku selesain kok, soalnya cuma tinggal 2 cerita lagi. Kalo nggak selesai juga, udah kurang ajar tuh namanya.

Nah, di postingan sebelumnya yang berjudul Masjid Azizi Tanjungpura, Masjid Kebanggaan Masyarakat Langkat, aku udah katakan bahwa di dalam komplek Masjid Azizi ini juga terdapat makam-makam dari pihak keluarga Kesultanan Melayu Langkat. Di sini juga merupakan lokasi pemakaman Tengku Amir Hamzah.
komplek pemakaman di sebelah Masjid Azizi
 Makam Tengku Amir Hamzah
Makam Tengku Amir Hamzah ini berada di tengah komplek pemakaman keluarga Kesultanan Melayu Langkat, makamnya telihat seperti makam-makam yang lain dengan nisan berwarna putih. Yang membedakan, di dekat makamnya terdapat sebuah batu prasasti berwarna kuning yang betuliskan “Pusara Pahlawan Nasional T. Amir Hamzah”.
Makam Tengku Amir Hamzah
Tengku Amir Hamzah

Emang siapa sih Tengku Amir Hamzah itu?

Jadi gini cuy, Tengku Amir Hamzah adalah salah satu pahlawan nasional yang berasal dari Sumatera Utara tepatnya dari Kabupaten Langkat. Beliau dilahirkan pada 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, Langkat. Tengku Amir Hamzah ini berasal dari keluarga bangsawan Kesultanan Langkat.

Hal tersebut pula lah yang kemudian membuat beliau bisa bersekolah di Mulo Batavia, kemudian beliau melanjutkan sekolah di AMS Solo dan lalu kembali ke Batavia untuk belajar hukum di Sekolah Hakim Tinggi hingga akhirnya meraih gelar Sarjana Muda Hukum. Meski berlatar belakang pendidikannya adalah di bidang hukum, tetapi posisinya sebagai putra bangsawan Kesultanan Langkat membawa Tengku Amir Hamzah masuk ke dalam lingkaran sastrawan.

Bahkan dalam karir sastranya, secara keseluruhan ada sekitar 160 karya Tengku Amir Hamzah yang berhasil dicatat. Di antaranya 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli dan 1 prosa terjemahan. Karya-karyanya tercatat dalam kumpulan sajak Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, Setanggi Timur dan terjemah Baghawat Gita.

Tengku Amir Hamzah pun berprestasi cukup besar di dunia sastra dengan membawa kesusastraan Indonesia memasuki era baru, era pujangga baru bersama Armjn Pane dan St. Takdir Alisjahbana. Mereka bertiga merintis majalah Pujangga Baru. Oleh sebab itu, bahkan HB Jassin menjulukinya “Raja Penyair Pujangga Baru”. Keren banget deh julukannya.

Namun kisah hidup Tengku Amir Hamzah berakhir cukup tragis, beliau yang kembali ke Tanah Langkat atas perintah sultan untuk menikahi putri Sultan Langkat kemudian mendapat posisi penting di dalam Kesultanan Melayu Langkat, pada akhirnya tewas terbunuh dalam peristiwa berdarah revolusi sosial tahun 1946 yang juga menghapus eksitensi kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Mayat beliau ditemukan dalam kondisi terpenggal. Sungguh tragis.

Itulah sedikit kisah tentang Tengku Amir Hamzah, sastrawan terkenal dari Tanah Langkat, Sumatera Utara. Setelah dari sini aku kemudian melanjutkan perjalanan pulangku menuju Kota Medan, tapi sebelumnya aku bakal singgah di satu tempat lagi. Tetap tungguin ya.

Brmmm.... Brmmm....
Masjid Azizi Tanjung Pura