Minggu, 08 November 2015

Rumah Adat Batak Toba, si Rumah Bolon di Balige



Rumah Bolon
Huta Batak adalah pemukiman yang khas berupa desa-desa yang tertutup dan membentuk masyarakat kelompok kecil. Biasanya kelompok ini adalah kumpulan marga/clan atau masih memiliki hubungan kekerabatan. Nah, salah satu huta Batak yang bisa dikunjungi wisatawan adalah Huta Batak yang berada di Komplek T.B. Silalahi Center, Balige. Di sini menampilkan berbagai kearifan budaya masyarakat Batak. Salah satunya adalah Rumah Adat Batak. Di Huta Batak ini terdapat dua jenis rumah adat yang saling berhadapan yaitu ruma dan sopo.
Ruma dan Sopo
Kedua bangunan ini, meskipun secara sekilas kelihatan sama, sebenarnya berbeda dari sisi konstruksi dan fungsi. Ruma digunakan untuk tempat tinggal keluarga, sedangkan sopo digunakan sebagai tempat penyimpanan (lumbung). Rumah dan sopo dipisahkan oleh pelataran luas yang berfungsi sebagai ruang bersama warga huta. Perbedaan lainnya adalah Sopo berlantai dua, hanya mempunyai satu baris tiang-tiang depan dan ruangan bawah terbuka tanpa dinding berfungsi untuk musyawarah, menerima orang asing dan tempat bermain musik.
Huta Batak dan Ruma serta Sopo yang saling berhadapan
Ruma
Sopo
Arsitektur Rumah Bolon
Rumah adat suku Batak Toba disebut juga ‘rumah bolon’. Rumah ini berbentuk panggung dengan bahan utama bangunan berupa kayu. Hal yang paling menarik perhatian adalah bentuk atapnya yang melengkung dan runcing di tiap ujungnya.  Proses pembangunan rumah adat suku Batak selalu dilaksanakan secara gotong royong. Bahan yang digunakan adalah bahan yang dengan kualitas baik, umumnya seorang tukang akan memilih kayu-kayu dengan cara memukul kayu tersebut dengan suatu alat untuk mencari bunyi kayu yang nyaring.
Pondasi rumah adalah hal yang terpenting, dibuat dengan formasi berbentuk segi empat, dipadu tiang dan dinding yang kuat. Makna pondasi ini sendiri adalah saling bekerja sama demi memikul beban yang berat.  Untuk bagian atas rumah, ditopang oleh sebuah tiang yang biasa disebut tiang “ninggor” dibantu oleh kayu penopang yang lain. Tiang “ninggor” ini lurus dan tinggi, orang suku Batak memaknainya sebagai simbol kejujuran. Untuk menjunjung tinggi kejujuran, perlu didukung oleh rasa keadilan.
Di bagian depan atap terdapat “arop-arop” bermakna harapan untuk bisa hidup layak. Lalu ada “songsong boltok” untuk menahan atap, yang punya arti bila ada pelayanan tuan rumah yang kurang baik sebaiknya dipendam dalam hati saja.
Lokasi 
Komplek T.B. Silalahi Center, Jalan Pagar Batu No. 88, Desa Silalahi, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir.
Saya di depan Rumah Bolon

Sabtu, 07 November 2015

Makam Batu Suku Batak



Suku Batak adalah salah satu suku yang berada di Sumatera Utara. Suku ini memiliki banyak peninggalan sejarah dan budaya yang bernilai tinggi dari berbagai zaman. Bahkan, suku Batak memiliki peninggalan dari jaman megalithikum, yaitu makam batu.
Makam Batu Batak
Replika kuburan/ makam batu ini mengikuti bentuk kuburan/ keranda batu kepala-kepala suku/ marga ratusan tahun yang lalu. Pembuatan replika ini dimaksudkan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa banyak peninggalan Batak yang berasal dari jaman batu besar (Megalithikum). Merupakan kehormatan jika seseorang dikuburkan di dalam batu. Keranda dari batu ini berbeda dengan keranda yang terbuat dari kayu dimana keranda dari kayu ditanam di dalam tanah sedangkan keranda batu diletakkan diletakkan di atas tanah.
Keranda batu biasanya dibuat dari batu besar dan utuh. Dalam perkembangannya, sejak masuknya teknologi campuran semen ke tanah Batak, pembuatan keranda batu ini tidak lagi menggunakan batu besar, akan tetapi menggunakan campuran semen yang dibentuk menyerupai keranda batu jaman dulu.
Diletakkan di atas tanah
dihiasi ukiran-ukiran

Lokasi 
Saat ini salah satu tempat untuk melihat makam batu peninggalan masyarakat batak ada di Balige, tepatnya di Huta Batak yang ada di Komplek T.B. Silalahi Center, Jalan Pagar Batu No. 88, Desa Silalahi, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir. Di sini terdapat replika makam batu dari peninggalan budaya Batak Toba.

Jumat, 06 November 2015

Pangulubalang, Patung Penjaga Suku Batak



Di Huta Batak yang berada di dalam Kompleks T.B. Silalahi Center yang beralamat di Jalan Pagar Batu, No. 88, Desa Silalahi, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir, terdapat peninggalan budaya masyarakat Batak Toba ketika masih menganut animisme. Ulubalang atau Pangulubalang namanya yang berbentuk patung dari batu atau dari kayu dan berfungsi sebagai panglima untuk melindungi dan memberi kesejahteraan kepada kampung atau marga.

Pangulubalang
Pangulubalang adalah benda berupa patung yang sudah diberi kekuatan mistis. Pangulubalang berfungsi sebagai panglima untuk melindungi dan memberi kesejahteraan kepada kampung atau marga. Konon diyakini sebagai penjaga yang mampu mengusir roh jahat yang ingin masuk ke dalam huta atau kampung. Pengulubalang juga mempunyai peranan penting dalam masalah perselisihan antar marga atau antar desa. Roh pengulubalang dapat ditugaskan pergi ke daerah musuh untuk menutup mata dan telingan musuh sehingga tidak dapat berperang lagi.
Yang seram dari pengulubalang ini adalah dulu pengulubalang dioleskan darah dari mayat musuh atau darah anak kecil dari kampung musuh agar pengulubalang semakin kuat. Saat ini sudah tidak ada lagi huta yang memakai pengulubalang karena sudah tidak lagi peperangan antar marga atau antar desa. Sehingga pengulubalang cuma dapat dijumpai di museum-museum Batak seperti museum di Balige ini.
Penjelasan tentang pangulubalang di kompleks Huta Batak
Bentuk
Pangulubalang berbentuk patung manusia setengah badan yang terbuat dari kayu ataupun batu. Biasanya pangulubalang akan ditempatkan di pintu masuk huta di dalam pondok kecil yang bercirikan khas batak.
Pondok kecil tempat pangulubalang

Kamis, 05 November 2015

Manortor Bersama Sigale-Gale



Sumatera Utara merupakan provinsi yang terdiri dari banyak etnis seperti Melayu, Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, Mandailing, Angkola dan etnis-etnis lainnya. Setiap etnis suku tersebut memiliki kesenian dan budayanya masing-masing dan beberapanya saat ini terkenal sebagai salah satu atraksi wisata yang membuat wisatawan mancanegara terpesona. Salah satu kesenian hasil budaya tersebut adalah menari Tor-Tor bersama Patung Sigale-Gale dari budaya Batak Toba.
Menari Tor-Tor atau disebut juga manortor bersama patung Sigale-Gale adalah sebuah kegiatan tarian tor-tor, tarian khas Batak yang diiringi musik Gondang. Sigale-Gale sendiri adalah sebuah boneka kayu yang berdiri layaknya manusia dan memang berbentuk seperti manusia lengkap dengan panca indera dan mengenakan pakaian adat Batak. Boneka Sigale-gale ini bisa menari layaknya manusia, bahkan gerakannya pun hampir sama dengan gerakan tarian yang dilakukan oleh manusia karena dibantu oleh beberapa dalang yang berada di belakangnya. Oh ya... katanya boneka ini juga bisa menangis lho... hiii...
Boneka Sigale-Gale

Sejarah
Cerita dari boneka ini bermula dari seorang Raja di Uluan yang bernama Raja Rahat. Raja ini telah lama ditinggal oleh istrinya dan ia hanya memiliki seorang putra yang menjadi mahkota dari kerajaan itu. Putranya itu bernama Manggale. Dalam kepemimpinananya, Raja ini sangat bijaksana dan putanya juga sangat dihormati dan disegani oleh rakyatnya kerena ketangkasannya dalam berperang.
Tibalah pada suatu hari terdengar kabar bahwa di hutan Uluan yang jadi perbatasan Uluan telah berkumpul pasukan dari seberang negeri Uluan hendak menyerang dan menjarah harta kekayaan alam Uluan. Mendengar hal itu rakyat juga sang Raja tampak gelisah dan dia tetap berusaha keras memikirkan rencana untuk menghadapi ancaman ini, lalu ia mengumpulkan penasehat-penasehatnya, para tetua kampung, Datu-datu dan putranya Manggalae selaku panglima perang. Dari semua penatua ada seorang Datu yang dianggap sebagai penasehat tertua dan ucapan dari Datu ini sangat didengarkan oleh Raja, Datu itu bernama Datu Manggatas. Mendengar semua perkataan Raja, semua tampak takut dan bingung untuk memberkan keputusan yang tepat. Datu Manggatas itu pun menyarankan untuk berperang melawan dan mengutus Manggalae sebagai pemimpin dalam perperangan itu, dan semua pun setuju dengan pendapat Datu lalu genaplah keputusan sang Raja untuk berperang lalu ia pun mengutus putranya Manggalae untuk memimpin pasukan Uluan menghadapi musuh di pebatasan tersebut.
Setelah enam bulan berlalu, Manggalae dan pasukan nya masih berperang di dalam hutan. Raja dan rakyatnya menantikan kepulangan mereka, namun belum ada kabar karena tidak ada yang berani masukl kedalam hutan. Sampai suatu seketika sang Raja bermimpi, dalam mimpinya ia melihat seekor burung gagak yang sedang terbang diatas rumahnya dan tiba-tiba burung gagak itu terjatuh dan mati karena tertusuk anak panah. Sang Raja pun sering merenungi mnakna mimpi itu dan menafsirkan nya sebagai pertanda buruk. Kekhawatiran juga ketakutannya begitu menyiksanya, karena Manggalae adalah putra semata wayangnya. Tak tahan menahan rindunya, Raja pun jatuh sakit. Melihat keadaan sang Raja para tetua dan penasehat Raja berkumpul dan berunding dalam memikirkan cara penyembuhaannya. Lalu Datu Manggatas pun memberikan masukan untuk membuat patung menyerupai wajah Manggalae dimana Datu manggatas akan mengundang roh Manggalae untuk masuk kedalam patung tersebut agar patung tersebut dapat bergerak seperti manusia, dimana rasa rindu Raja dapat terobati apabila melihat patung itu. mendengar masukan dari Datu itu mereka pun membuat patung itu demi kesembuhan Raja.
Tepat pada bulan purnama, setelah semua persiapan selesai, semua rakyat pun berkumpul menantikan kehadiran Raja bersama Datu Manggatas untuk melihat patung itu, betapa terharunya semua rakyat yang berkumpul disitu karena melihat sang Raja yang menangis menatap patung itu. Lalu Datu Manggatas pun mengisyaratkan pada pargonci untuk memainkan gondang sabangunan, lalu diikuti dengan tiupan alat musik sordam. Menyusul tabuhan Gondang, sang datu mengambil tali tiga warna : merah, hitam dan putih. Lalu mengikatnya dikepala patung itu. Datu lalu mengenakan ulosnya, dan membaca mantra sambil mengelilingi patung tersebut sampai tujuh kali, dan tiba-tiba patung itu bergerak dan tidak hanya bergerak juga manortor bersama sang Datu. Kemudian Datu menjemput sang Raja untuk ikut manortor bersama patung Manggalae. Semua rakyat pun terharu dan ikut bergabung manortor bersama-sama. Mereka manortor hingga fajar terbit dan tibalah roh Manggalae tersebut harus kembali kealamnya sebelum ayam berkokok karena begitulah perjanjiannya.
Roh Simanggalae pun kembali kealamnya meninggalkan patung itu juga seluruh rakyat uluan yang hadir. Dan patung itu pun tidak dapat lagi bergerak. Raja Rahat lalu menyimpaan patung itu. Demikianlah sang Raja terhibur. sehingga sejak saat itu, apabila sang Raja rindu bertemu dengan putranya, ia akan mengadakan upacara pemanggilan roh dan akan manortor bersama ''anak'' nya itu sampai pagi. Patung itu pun dinamai Sigale-gale karena gerakannya yang lemah dan seolah tak bertenaga dan pacara ini selalu dilakukan hingga sang Raja meninggal dunia.
Menjadi Atraksi Wisata
Saat ini kegiatan manortor bersama bonek sigale-gale adalah sebuah kegiatan wisata yang mampu menarik minat banyak wisatawan lokal maupun mancanegara dan telah menjadi salah satu identitas dalam pariwisata Provinsi Sumatera Utara secara umum, dan Samosir secara khususnya.
Wisatawan ikut manortor
mahasiswa juga ikutan

Lokasi 
Atraksi wisata ini biasanya dapat ditemui di Pulau Samosir. Selain itu, manortor bersama patung Sigale-gale juga dapat ditemui di Huta Batak yang berada di Komplek Silalahi Center, Jalan Pagar Batu No. 88, Desa Silalahi, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara.