Kamis, 29 Oktober 2015

Makam Nomensen di Sigumpar



Di Kabupaten Tobasa terdapat makam DR. IL Nomensen. Seorang pahlawan bagi orang Batak karena telah mengubah pola pikir dan keyakinan mereka dari Animisme ke dalam Agama Kristen.
Lokasi
Makam Nomensen terletak di belakang gereja HKBP DR. IL Nomensen, Kecamatan Sigumpar, Kabupaten Toba Somosir, Sumatera Utara. Di komplek pemakaman tersebut tidak hanya DR. IL Nomensen yang dimakamkan, tetapi terdapat juga makam teman-teman seperjuangan Nomensen dan istri DR. IL Nomensen yang dimakamkan berbagi satu nisan dengan DR. IL Nomensen.
Terletak di Sigumpar, Toba Samosir
Tepatnya di belakang gereja

DR. IL Nomensen
DR. IL Nomensen adalah seorang misionaris yang berasal dari Jerman. Beliau tidak bisa dilupakan bagi orang Batak di seluruh dunia karena telah membawa perubahan pola pikir dan kepercayaan yang mendasar bagi masyarakat Batak untuk melangkah keluar dari pola animisme ke arah “Ha Kristenon”. Sebagai paradigma baru dalam kehidupan orang Batak dengan nilai-nilai cinta kasih, pendidikan, kesehatan yang menjadi cikal bakal kemajuan dan pembaharuan hidup orang Batak.
Makam Nomensen
Seorang Pahlawan
Bagi orang Batak, DR. IL Nomensen adalah seorang pahlawan dan tokoh panutan karena dia lah yang membawa kemajuan dan membuka pola pikir bagi kehidupan orang Batak. Pertanda bahwa orang Batak sangat menghargai dan menghormati jasa DR. IL Nomensen dapat dilihat dari komplek pemakamannya yang berada di Sigumpar cukup bersih dan terawat.
Komplek makamnya bersih dan terawat
DR IL Nommensen menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia 84 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Mei 1918. Kemudian beliau dimakamkan di belakang Gereja HKBP Nommensen, Sigumpar. saat ini komplek makamnya dijadikan sebagai salah satu tujuan wisata religi masyarakat Batak.
Berfoto di depan makam Nomensen

Rabu, 28 Oktober 2015

Desa Parmalim di Tanah Batak


Bale Pasogit
Sumatera Utara menyimpan banyak cerita yang menarik tentang masyarakatnya dan tentu saja tentang kekayaan adat istiadat dan budayanya yang dimilikinya. Di sini, di Sumatera Utara, kita masih dapat menjumpai penduduk asli yang masih memegang teguh adat istiadatnya, yang masih menjalankan agama dan budaya asli daerahnya.
            Lokasi
Di Desa Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir misalnya, di desa ini wisatawan dapat menjumpai sebuah perkampungan Parmalim yang masyarakatnya masih tetap bertahan memeluk agama Parmalim selama ratusan tahun dan tidak pudar dengan perkembangan zaman.
Agama Parmalim
Agama Parmalim memang hanya diakui sebagai aliran kepercayaan di bawah naungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Namun hingga kini, kepercayaan yang dianut Sisingamaraja XII  ini tetap terjaga di Tanah Batak. Agama Malim yang dalam bahasa Batak disebut Ugamo Malim adalah bentuk moderen agama asli suku Batak. Agama asli Batak tidak memiliki nama sendiri, tetapi pada penghujung abad kesembilan belas muncul sebuah gerakan anti kolonial. Pemimpin utama mereka adalah Guru Somalaing Pardede. Agama Malim pada hakikatnya merupakan agama asli Batak, namun terdapat pengaruh agama Kristen, terutama Katolik, dan juga pengaruh agama Islam.
Agama ini tidak mengenal Surga atau sejenisnya,sepeti agama umumnya, selain Debata Mula jadi Na Bolon (Tuhan YME) dan Arwah-arwah leluhu. Tujuan upacara agama ini memohon berkat dari Debata Mula jadi Na bolon (Tuhan YME), dari Arwah-arwah leluhur, juga dari Tokoh-tokoh adat atau kerabat-kerabat adat yang dihormati, seperti Kaum Hula-hula (dari sesamanya). Tuhan dalam kepercayaan Malim adalah "Debata Mula Jadi Na Bolon" (Tuhan YME) sebagai pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh "Umat Ugamo Malim" ("Parmalim").
Kepercayaan Parmalim sendiri cukup unik, rata-rata penganutnya asli keturunan Batak, namun kepercayaan ini mengharamkan penganutnya memakan babi, anjing, maupun darah. Menyantap makanan dari rumah keluarga yang tengah berduka (meninggal dunia) juga diharamkan.
Salah satu bangunan di komplek ibadah Parmalim
Rumah Ibadah Parmalim
Rumah ibadah Parmalim bernama Bale Pasogit, bentuk bangunannya menyerupai gereja pada umumnya dengan beberapa ukiran gorga, ukiran khas Batak. Namun, dilengkapi lapangan yang cukup luas yang digunakan umat Parmalim merayakan hari besar mereka. Di atas bubungan Bale Pasogit terdapat replika tiga ekor ayam, Lambang Tiga ayam ini punya warna yang berbeda, yaitu hitam lambang kebenaran, putih lambang kesucian dan merah lambang kekuatan atau kekuasaan. merupakan lambang ”partondion” (keimanan). Konon, menurut ajaran Parmalim, ada tiga partondian yang pertama kali diturunkan Debata ke Tanah Batak, yaitu Batara Guru, Debata Sori dan Bala Bulan. Sementara ayam merupakan salah satu hewan persembahan (kurban) kepada Debata.
3 Ayam di atap Bale Pasogit
Saya berfoto di depan Bale Pasogit

Minggu, 25 Oktober 2015

Cantiknya Persawahan di Tepian Danau Toba


Berbicara tentang keindahan Danau Toba memang seakan tidak ada habisnya. Budaya, arsitektur, sejarah dan tentu saja alamnya yang selalu menebar keindahan. Salah satu keindahan alam Danau Toba itu adalah persawahan di Tepian Danau Toba. Indah.
Lokasi

Alam persawahan mungkin sudah biasa kita lihat, tapi alam persawahan dengan latar pegunungan dan danau berair jernih mungkin jarang. Tapi di Desa Lumban Binanga, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Tobasa, semua itu dapat saya saksikan.
Landscape Alam
Persawahan yang hijau nampak teratur dengan rapi, di belakang persawahan tersebut saya dapat melihat pegunungan Toba yang menjulang tinggi. Dari beberapa spot yang sedikit tinggi, saya juga dapat melihat Danau Toba yang bersebelahan dengan persawahan tersebut.
Sawahnya berlatarkan pegunungan dan Danau Toba
Pemandangan di sini sangat menyegarkan dan berbeda, apalagi saat itu cahaya jingga keemasan dari sang mentari di ufuk barat tampak menyeruak dari celah pegunungan dan menghiasi hijaunya persawahan. Rasanya begitu tentram dan damai.
Cahaya senja yang menyinarinya menambah keindahan

Sabtu, 24 Oktober 2015

Spektrum Cahaya di Danau Toba Part II, Malam yang Dingin


Malam di Danau Toba

Setelah terpana menyaksikan indahnya sunset dari tepian Danau Toba, malam pun datang merayap membawa dingin yang menusuk hingga ke sum-sum tulang terdalam. Jika biasanya wisatawan yang bermalam di sekitaran Danau Toba memilih menginap di hotel, namun kami tidak memilih opsi tersebut karena kami memilih bermalam di pondok kecil yang hanya berjarak 5 meter dari Danau Toba.
Dinginnya cuaca malam itu di tepian Danau Toba memang bukan main-main guys, angin pegunungan yang bertiup melewati permukaan danau membawa butiran-butiran air menambah dinginnya malam di Danau Toba. Padahal jaket yang saya pakai cukup tebal, tetapi dinginnya tetap terasa menusuk tulang.
Untuk mengusir dingin, kami pun menikmati kopi hangat yang dijual di warung yang ada di sekitar tempat kami berkemah. Lumayan, bisa mengusir sedikit dingin yang terasa.
Setelah itu kami membuat api unggun agar suasana menjadi lebih hangat. Sayangnya kami tidak membawa sesuatu yang bisa dipanggang. Tapi tidak masalah, karena teman-teman yang lain mengisi malam dengan menyanyikan lagu yang diiringi gitar membuat suasana Alam Toba yang dingin menjadi semarak dan hangat.
Bersama teman menikmati minuman hangat
Pasang Api unggun bro
Kawan-kawan bermain gitar

Menghabiskan malam di tepian Danau Toba bersama teman-teman memang sangat mengasyikkan. Meski dinginnya membuat tubuh menggigil.