Senin, 23 Maret 2020

Sedihnya di Taman Proklamasi Indonesia

Brmmm.... Brmmm...

Kayak gitulah kira-kira bunyi motor si abang ojol yang kunaiki saat ia membelah jalanan pagi di Ibu Kota Jakarta ini untuk mengantarkanku dari Stasiun Pasar Senen menuju tempat tujuanku. Tak lama, palingan cuma 20 menit, aku pun tiba di tempat tujuanku, yaitu Taman Proklamasi Indonesia, salah satu tempat paling bersejarah bagi kemerdekaan negara Indonesia.
Taman Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Alamat Taman Proklamasi

Taman Proklamasi ini beralamat di Jalan Proklamasi, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Nggak jauh-jauh amat dari Monas dan Bundaran HI. Dulunya sih tempat ini beralamat di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Tapi sekarang udah diganti nama jalannya menjadi Jalan Proklamasi.

Sejarah dan Lanskap Taman Proklamasi

Setelah mengucapkan salam dan izin untuk masuk ke dalam taman pada dua bapak-bapak yang ada di dekat pintu masuk taman, aku pun segera menjelajahi taman kecil ini sambil memproyeksikan imajinasiku akan kejadian proklamasi Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang lalu.

Monumen Pahlawan Proklamator Soekarno - Hatta

Begitu memasuki taman, yang paling mencolok dan menarik perhatian adalah dua patung perunggu Soekarno dan Mohammad Hatta berukuran besar yang berdiri sejajar di sudut taman. Posisi dua patung tersebut mirip ama posisi di foto ketika naskah proklamasi Indonesia dibacakan. Di antara kedua patung itu ada juga patung naskah proklamasi yang terbuat dari lempengan batu marmer hitam yang isinya mirip ama ketikan naskah proklamasi yang asli.

Patung dua proklamator ini diresmikan pada 17 Agustus 1980 oleh Presiden Soeharto. Di belakang patung ini ada 17 pilar dan yang tertinggi berukuran 8 meter serta di sela-selanya terdapat 45 tonjolan yang berarti 17-8-45. Sedangkan di latar naskah proklamasi terdapat 5 pilar yang melambangkan Pancasila.
Patung tokoh proklamator

Monumen Proklamasi

Patung naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia

Tugu Petir

Tapi sebenarnya posisi dua patung proklamator ini bukan posisi sebenarnya saat kejadian proklamasi tersebut. Karena saat proklamasi dibacakan, Soekarno dan Hatta membacakan naskah proklamasi tersebut dari teras rumah Soekarno. Tapi sekarang rumah itu udah nggak ada lagi sejak tahun 1960, udah dibongkar. Sayang banget sih.

Sekarang di posisi pembacaan naskah proklamasi tersebut dibangun sebuah tugu yang bernama Tugu Petir karena di ujung tugunya ada logo petir. Di badan tugu itu ada plakat logam yang bertuliskan “ Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta”. Tugu ini dibangun pada tahun 1961 dan Soekarno sendiri yang melakukan pencangkulan pertamanya.
Tugu Petir

Plakat logam di Tugu Petir
Di depan tugu ini aku pun sempat mengheningkan cipta, mendoakan arwah para pejuang kemerdekaan dan berterima kasih karena atas perjuangan mereka, aku bisa merasakan nikmatnya hidup di atas negara yang merdeka. Di depan tugu ini juga aku membayangkan detik-detik proklamasi yang terjadi pada 17 Agustus 1945 tersebut. Entah mengapa rasanya cukup merinding juga membayangkan perjuangan mereka untuk menggapai kemerdekaan ini dan kontrasnya perpecahan yang terjadi pada negeri Indonesia tercinta di saat sekarang ini. Ah.. mungkin mereka akan kecewa melihat kita.

Tugu Peringatan Satu Tahun Kemerdekaan

Di taman ini juga ada satu tugu kecil yang berbentuk tugu obelisk. Tugu ini merupakan Tugu Peringatan Satu Tahun Kemerdekaan Indonesia yang dibangun oleh persatuan wanita Indonesia pada tahun 1946. Tugu ini sempat dihancurkan pada masa pemerintahan Soekarno dan dibangun kembali pada tahun 1972 oleh Gubernur Jakarta, Ali Sadikin.
Tugu Peringatan Satu Tahun Kemerdekaan
Selain tugu dan monumen, taman ini juga cukup hijau karena ada banyak pepohonan dan tanaman bunga yang tersebar di seluruh penjuru taman. Jadi cukup asri dan adem di tengah panasnya Kota Jakarta.
Bunga dan pepohonan di Taman Proklamasi
Tapi sebagai salah satu tempat paling bersejarah bagi kemerdekaan Indonesia, tempat ini terasa tidak ada yang spesial. Mungkin karena tempat ini tidak begitu dikenal, bahkan mungkin banyak yang tidak tau akan taman ini.

Selain itu, bangunan sejarah seperti rumah Soekarno juga sudah tidak ada lagi dan posisi patung yang tidak berada di tempat yang sesungguhnya membuat aura sakral kemerdekaan itu terasa begitu redup. Seolah-olah taman ini hanya taman biasa yang dimanfaatkan masyarakat untuk ngadem doang.

Aku jadi teringat saat berkunjung ke Monumen Jose Rizal, di Rizal Park, Manila. Di sana monumennya dijaga 2 tentara setiap harinya, dikelilingi bendera-bendera Filipina dan dan menjadi tempat yang sangat terkenal bahkan menjadi daftar yang wajib dikunjungi saat liburan ke sana sehingga terasa banget aura sejarahnya.

Sungguh miris rasanya melihat perbedaan dengan tempat ini. Sedih juga rasanya. Aku paham sih kalo objek wisata sejarah itu emang nggak menarik, tapi paling tidak untuk sejarah penting seperti sejarah kemerdekaan ini kita harus mengetahuinya.

Ah... Sedih rasanya.
Akhirnya sampe juga di tempat bersejarah ini

Minggu, 22 Maret 2020

Naik Kereta dari Jogja ke Jakarta

Sesaat lagi kereta api ekonomi Jaka Tinggir tujuan bla.. bla.. bla.. Pasar Senen akan diberangkatkan melalui peron 2, kepada para penumpang yang masih berada di luar kereta harap segera memasuki kereta. 
Stasiun Lempuyangan

Kereta Api Ekonomi Jaka Tingkir

Begitulah kira-kira pengumuman dari petugas kereta api saat Kereta Api Ekonomi Jaka Tingkir yang kunaiki akan berangkat dari Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta dengan tujuan akhir Stasiun Pasar Senen, Jakarta. Tiket kereta ini ku beli seharga Rp. 170.000, cukup murah menurutku dan pastinya lebih aman dan nyaman. Seharusnya ada yang lebih murah sih, Rp. 70.000-an. Tapi tiketnya udah abis. Keretanya sendiri berangkat jam 18.55 malam dan diperkirakan nyampe di Jakarta jam 3.30 pagi.

Di dalam kereta ini, aku memilih duduk di sebelah jendela, tepatnya di Gerbong 1 kursi No. 5D. Tapi karena perjalanannya malam, jadi kagak keliatan pemandangan apapun di luar sana. Gelap doang yang keliatan. Cuma sesekali terlihat ada perkotaan yang aku pun nggak tau kota apa itu.

Kereta Api Ekonomi Jaka Tingkir yang berangkat PP dari Stasiun Purwosari tujuan akhir Stasiun Pasar Senen ini menurutku cukup nyaman, karena dilengkapi AC, toilet, colokan listrik dan bisa nyewa selimut juga kalo kedinginan. Satu aja sih yang kurang, nggak ada cewek cakep yang duduk sekursi ama aku. Jadinya boring deh sepanjang perjalanan. 😂

Tapi nggak apa-apa juga sih, soalnya aku juga harus beristirahat, agar esok saat tiba di Jakarta, kagak ngantuk. Setelah aku merapikan dan mengamankan benda-benda berharga tapi nggak berharga buat orang lain, aku pun segera terlelap di kursi kereta ini.

Zzzzzz....

Sesaat lagi Kereta Api Ekonomi Jaka Tingkir akan memasuki stasiun akhir Pasar Senen, kepada para penumpan harap periksa kembali barang bawaan anda agar tidak tertinggal atau tercecer di dalam kereta.

Terima kasih telah menggunakan layanan Kereta Api Indonesia, sampai jumpa di perjalanan anda selanjutnya.

Hoaamm... Aku terbangun ketika kereta api sudah mau sampe di Stasiun Pasar Senen. Segera ku beresi barang-barang bawaanku dan kumasukkan ke dalam backpack. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, aku pun turun dari kereta ini setelah keretanya berhenti sempurna di stasiun.
Kereta Api Ekonomi Jaka Tingkir, sumber: wikipedia
Stasiun Pasar Senen

Asem... Di luar masih gelap banget. Pas liat jam, ternyata masih jam 4 pagi. Jadi kuputusin buat nunggu pagi di stasiun aja.

Beruntung ruang tunggu Stasiun Pasar Senen ini luas dan ada banyak bangku-bangku panjang. Setelah mengamankan barang bawaan dan menjadikan backpack sebagai bantal, aku pun kembali istirahat di ruang tunggu stasiun.

Setelah jam 5.30, barulah aku bersih-bersih badan dan mengganti pakaian di kamar mandi stasiun. Syukur aja kamar mandinya masih bersih. Setelah itu, aku kembali menunggu pagi di ruang tunggu.

Akhirnya jam 7 pagi baru deh aku keluar dari stasiun dan mencari sarapan di sekitar stasiun. Sayangnya beberapa warung dan resto fast food sekitar stasiun masih tutup, jadi aku milih buat sarapan di pedagang kaki lima yang mangkal di depan stasiun.

Sarapan dengan sepiring nasi berlaukkan telur dadar dan sambal teri pake tempe ku tebus seharga Rp. 12.000. Kerasa banget beda harganya ama makanan saat di Jogja. Tapi wajar sih, namanya juga Jakarta, semuanya mahal, yang murah di sini mah ya masalah. 😂

Selesai dengan urusan perut, aku pun segera berangkat untuk menjelajah ibu kota ini sebelum kembali ke Kota Medan ntar sore.
Stasiun Pasar Senen, sumber: wikipedia

Bang Ojol, lets go...

Nb: aku lupa motoin, fokus di perjalanan soalnya

Jumat, 20 Maret 2020

Bakpia Pathok, 0 Kilometer dan si Dia

Hai sahabat backpacker....

Gimana kabarnya? Semoga sehat selalu ya, aamiin...

Maaf ya lama kagak update, soalnya beberapa hari ini sibuk ngurusin refund. Seharusnya beberapa hari ini aku traveling ke Malaysia karena kemarin dapat tiket liburan gratis ke sana. Tapi dengan kondisi yang seperti ini dan Kuala Lumpur yang di lock down, ambyar deh rencana travelingnya.

Jadi, sekarang deh bisa lanjut update, maaf ya kawan-kawan.

Setelah sebelumnya aku menikmati kerennya Museum Benteng Vredeburg, aku kemudian memutuskan untuk membeli oleh-oleh untuk orang-orang di rumah. Setelah mencari-cari informasi, katanya salah satu oleh-oleh khas dari Jogja adalah Bakpia Pathok. Oleh karena itu, aku pun memutuskan untuk membeli kue tersebut.

Brmm... Brmm....

Bakpia Pathok 25

Aku membeli kue Bakpia Pathok di Bakpia Pathok 25 yang ada di Jalan AIP KS Tubun, Yogyakarta. Sebenarnya di sini ada banyak jenis kue untuk oleh-oleh. Tapi aku cuma beli Bakpia Pathok saja. Bakpia Pathoknya pun punya banyak variasi rasa. Namun yang paling enak menurutku adalah varian rasa kacang ijo. Bakpianya lembut banget cuy. Hm.. nyummi...

Satu kotaknya berisi sekitar 15 biji. Aku pun beli tiga kotak dengan harga Rp. 105.000, alias satu kotaknya Rp. 35.000. oh ya, aku lupa motoin bakpianya, pas udah abis baru keinget. 😂
Bakpia Pathok 25
0 Kilometer

Setelah selesai dengan urusan oleh-oleh, aku berencana untuk menghabiskan sore sambil menunggu jadwal keberangkatan kereta api ku di 0 KM Jogja. Dan saat itu pula lah hp ku berbunyi menandakan ada satu pesan masuk di messenger.

“Kak, kamu masih di Jogja? Ketemuan yuk.” Begitu isi pesan tersebut dan pengirimnya adalah, ehem.. mantan.

“ masih kok. Ketemuan di 0 KM aja ya, kakak juga mau ke sana.” Balasku setelah memikir sesaat dan melihat kembali hati, ternyata aman. Udah move on. 😁

“ Ok deh, bentar lagi otw nih kak.”

“ Siip.. 👍.” Balasku singkat.

Tak begitu lama, aku pun kembali ke 0 KM Jogja. Tempat ini menurutku emang asyik banget buat nongkrong ngabisin waktu di sore hari. Ada banyak kursi-kursi yang tersedia mulai dari Jalan Malioboro sampe titik 0 Kilometernya. Kursinya ada yang berupa kursi kayu maupun kursi batu bulat. Di sekitarnya juga banyak pohon-pohon yang rindang, jadinya adem deh suasananya.

Udah gitu, katanya suasana 0 KM ini mirip ama Eropa gitu, tapi katanya sih, soalnya aku belum pernah ke Eropa. Tapi pemandangan di sekitarnya emang cakep sih, ada banyak lampu-lampu taman di pedestriannnya, terus di sekitarnya ada gedung-gedung peninggalan masa kolonial seperti gedung kantor pos, gedung bank BNI dan gedung Bank Indonesia yang mengapit jalan menuju alun-alun. Semakin sore, suasana di 0 KM ini makin rame dan makin meriah.
Gedung Kantor Pos dan Gedung Bank Indonesia

Suasana 0 KM kala malam menjelang

Gedung Bank BNI dari 0 KM Yogyakarta

Gedung Agung


Selain tiga bangunan peninggalan kolonial tadi, di samping 0 KM ini juga ada Gedung Agung Yogyakarta. Gedung ini dibangun pada Mei 1824 oleh pihak kolonial sebagai tempat tinggal Residen Belanda. Ketika pusat pemerintahan Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta, gedung ini menjadi Istana Kepresidenan dan menjadi tempat tinggal Presiden Soekarno.

Saat ini, Gedung Agung masih difungsikan sebagai Istana Kepresidenan yaitu sebagai kantor dan tempat tinggal presiden ketika berkunjung di Yogyakarta serta untuk menerima tamu-tamu negara. Sekarang, Gedung Agung juga dibuka untuk umum setiap hari senin sampe sabtu dari jam 8 pagi sampe jam 3 sore. Sayangnya aku ke sini udah jam 4 lebih, jadi kagak bisa masuk lagi. Asem. 
Geudng Agung Yogyakarta

Monumen Batik

Di 0 Kilometer ini juga ada satu monumen yang sangat bagus, yaitu Monumen Batik. Pada monumen ini tertulis bahwa pada tahun 2009 Batik Indonesia ditetapkan UNESCO sebagai “Warisan Budaya Tak Benda” dan pada tahun 2014 Yogyakarta dikukuhkan sebagai “ Kota Batik Dunia”. Keren banget cuy.
Monumen Batik
Monumen Serangan Umum 1 Maret

Di sisi yang berseberangan dengan Monumen Batik, ada Monumen Serangan Umum 1 Maret. Monumen ini dibangun untuk memperingati serangan tentara Indonesia terhadap Belanda pada 1 Maret 1949. Saat itu ketika negara Indonesia dianggap telah lumpuh, bahkan tidak ada oleh Belanda, serangan umum ini berhasil menduduki Yogyakarta selama 6 jam dan hal tersebut berhasil menaikkan moral para pejuang dan mematahkan propoganda Belanda. Keren banget cuy.
Monumen Serangan Umum 1 Maret
Ehem.. mantan

Setelah menunggu cukup lama sambil duduk nyantai di 0 KM ini, akhirnya orang yang ngajak ketemuan tadi nongol juga. Namanya Afni, dan dia ini ehem.. mantanku dulu saat masih SMA. Tapi sekarang udah move on kok. Rasa yang tinggal di dalam hati pun adalah rasa terima kasih, karena pernah menjadi warna di kehidupan SMA ku dan membuatku bisa berfikir untuk lebih dewasa lagi. Aceile... 😂

Tapi... Emang lebih cakep yang sekarang sih nih anaknya. Wkwkwkwk...

Kami berdua kemudian ngobrol-ngobrol santai di sana, bersama temaram senja. Bercerita kegiatan sehari-hari saat ini seperti kisahnya yang melanjutkan S2 di UGM dan kegiatan travelingku yang nggak jelas ntah kemana-mana. 😂

Kami juga bercerita tentang kabar dari orang-orang yang kami kenal dulu saat sekolah. Yupz... Kami bercerita sebagai teman yang telah lama tak bertemu dan akhirnya berjumpa lagi di tanah yang jauh dari kampung halaman.

Ketika hari semakin gelap dan senja semakin hilang, kami berdua pun berpisah, karena aku harus melanjutkan perjalanan ke Stasiun Lempuyangan untuk menuju destinasiku yang selanjutnya.
Stasiun Lempuyangan
Sampai jumpa lagi mantan.

Sampai jumpa lagi Jogja.
Ganteng juga berfoto di 0 Klometer ini

Jumat, 06 Maret 2020

Menatap Diorama di Museum Benteng Vredeburg

Tap... Tap... Tap...

Aku melangkah cepat menghindari sengatan matahari yang cukup terik siang ini melewati Gapura Pangurakan menuju 0 Kilometer Jogja setelah sebelumnya mengunjungi Museum Sonobudoyo. Sekarang tujuanku adalah Benteng Vredeburg yang letaknya nggak jauh dari 0 KM tersebut. Sebenarnya kemarin sore aku udah ngedatangi museum ini, tapi karena terlalu sore, museumnya udah mau tutup. Akhirnya hari ini deh baru aku ngunjunginnya lagi.
Museum Benteng Vredeburg
Lokasi Benteng Vredeburg

Benteng Vredeburg ini beralamat di Jalan Margo Mulyo, Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta. Benteng ini terletak tidak jauh dari 0 KM, Pasar Beringharjo, Taman Pintar, dan Gedung Agung.

Sejarah Benteng Vredeburg

Benteng Vredeburg ini mulai dibangun sejak tahun 1760-an oleh pihak Belanda atas seizin Sultan Hamengku Buwono I. Awalnya benteng ini cukup sederhana dengan bentuk bujur sangkar dan dinding terbuat dari tanah liat yang diperkuat tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren dan di empat sudutnya dilengkapi tempat penjagaan.

Karena terlalu sederhana, pihak Belanda meminta izin untuk memperkuat benteng menjadi bangunan permanen demi alasan keamanan. Katanya sih, padahal mah bentengnya buat nunjukin kekuasaan. Setelah selesai bangunan benteng tersebut dinamain Benteng Rustenburg yang berarti Benteng Peristirahatan.

Ketika gempa besar melanda Jogja di tahun 1867, benteng ini mengalami kerusakan sehingga dibangun kembali. Di dalamnya juga dilengkapi barak prajurit, gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Nama benteng ini pun diubah menjadi Benteng Vredeburg yang berarti benteng perdamaian, sebagai bukti tidak saling serang antara Belanda dengan Kesultanan.

Benteng ini sempat berganti-ganti kepemilikan, mulai dari VOC, Kerajaan Belanda, Inggris, Jepang, hingga Republik Indonesia. Meskipun demikian, tanah tempat benteng ini berdiri secara sah tetap milik Kesultanan Yogyakarta. Ya sama sih kayak raga ini, walau terkadang dimiliki orang-orang berbeda, tapi hatinya masih tetap miliki mu.

Wkwkwkwkwkwk #bucin

Padahal mah jomblo. 😂

Saat ini Benteng Vredeburg telah diakui sebagai salah satu bangunan cagar budaya dan kini difungsikan sebagai museum yang bisa dikunjungi oleh masyarakat umum.

Koleksi Museum Benteng Vredeburg

Setelah membeli tiket masuknya yang cuma Rp. 3000 saja perorang. Murah banget cuy. Aku pun segera masuk ke dalam benteng dan mulai menjelahi bangunan bersejarah ini. Di depan pintu gerbangnya terdapat plang penunjuk arah dari bagian-bagian bangunan benteng ini.
Plang penunjuk arah

Halaman Benteng Vredeburg

Patung pahlawan di halaman benteng
Aku pun memasuki satu demi satu ruangan museumnya. Ada satu hal menarik dari cara museum ini menampilkan kisah sejarah, yaitu museum ini menampilkan kisah sejarah bukan dengan cara memamerkan koleksi benda-benda bersejarah saja namun kebanyakan berupa diorama dan minidiorama yang menceritakan berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di sekitar Yogyakarta seperti diorama perang gerilya, sejarah Pangeran Diponegoro, sejarah pergerakan nasional seperti berdirinya Taman Siswa, Muhammadiyah hingga peristiwa-peristiwa bersejarah lainnya.
Diorama perang gerilya

Koleksi minidiorama

Diorama perjuangan Pangeran Diponegoro

Diorama berdirinya Taman Siswa

Diorama-diorama ini mengingatkanku pada museum di Monumen Nasional yang menampilkan diorama-diorama juga.

Selain diorama, katanya museum ini juga menampilkan koleksi berupa benda-benda peninggalan bersejarah. Namun saat aku berkunjung, ruangannya lagi direnovasi, jadi kagak keliatan deh. Selain itu aku juga nemuin ruang audiovisual di lantai dua yang menampilkan film-film sejarah dan perjuangan, tapi ruangannya juga tutup.
 -_-“.
Koleksi museum
Akhirnya aku memilih naik ke atas benteng, dari atas seru juga sih, bisa ngeliatin 0 KM Jogja dari ketinggian, tapi karena cuaca yang lagi terik, aku nggak berlama-lama di atas, takut item ntar.
Pemandangan dari atas benteng

Moto orang nggak dikenal
Setelah selesai menjelajahi setiap bagian Museum Benteng Vredeburg ini, aku pun segera keluar dari benteng. Rencananya sih aku mau beli oleh-oleh, lalu kemudian menunggu jadwal keberangkatan kereta api di 0 KM. Sepertinya asyik juga.

Ting...

Tiba-tiba terdengar suara notifikasi di hpku yang menandakan ada pesan yang masuk di Messenger. Segera aku membukanya.

kak, kamu masih di Jogja? Ketemuan yuk!

Bersambung.... 
Aku dan Museum Benteng Vredeburg

Senin, 02 Maret 2020

Mengenal Sejarah dan Budaya Jawa di Museum Sonobudoyo Yogyakarta

Setelah sebelumnya aku nggak sengaja menemukan Masjid Keraton Soko Tunggal di kawasan Taman Sari, aku kemudian beranjak ke Masjid Gedhe Kauman untuk sholat Jumat di sana. Setelah itu baru deh makan di angkringan yang ada di halaman masjid. Ini nih enaknya Jogja, makanannya murah-murah. Nggak nyampe Rp. 10.000, perut udah kenyang dengan makanan angkringan yang murah-murah. Mantap cuy.

Setelah mengisi perut, aku pun melanjutkan petualanganku di Bumi Jogja ini. Apalagi ini hari terakhirku di sini, jadi harus dimaksimalkan jalan-jalannya. Tujuanku selanjutnya adalah Museum Sonobudoyo yang tidak begitu jauh dari Masjid Gedhe Kauman ini.

Tap..tap..tap.. nggak lama jalan kaki, sampe juga aku di halaman museumnya.
Museum Sonobudoyo

Alamat Museum Sonobudoyo


Museum Sonobudoyo ini letaknya di Jalan Pangurakan No. 6, Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta. Letaknya ada di sisi utara dari Alun-Alun Utara Yogyakarta. Jadi mudah banget buat ngunjungi museum ini, karena berada di pusat kota dan dekat dari objek-objek wisata lainnya.

Oh ya, tiket masuknya juga murah banget, perorangnya cuma bayar Rp. 3000 aja sebagai tiket masuknya. Murah meriah cuy. Btw ini juga sih yang bikin aku suka ngunjungi museum, soalnya tiket masuknya murah dan ada banyak hal yang bisa dilihat di dalam, terus dapat ilmu dan pengetahuan juga. Mantap banget kan?

Makanya, hayuk ke museum!

Sejarah Museum Sonobudoyo

Museum Sonobudoyo ini awalnya adalah sebuah yayasan yang bergerak di bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali, Lombok yang berdiri tahun 1919 di Surakarta dengan nama Java Instituut. Dengan tujuan untuk mengumpulkan kebudayaan dari daerah-daerah tersebut, maka Java Instituut ini ingin mendirikan sebuah museum dan museumnya pun didirikan di Yogyakarta dengan tanah yang diberikan oleh Sultan Hamengku Buwono VII. Peresmiannya pun dilakukan langsung oleh Sultan pada tanggal 6 November 1935.
Prasasti pembangunan Museum

Koleksi Museum Sonobudoyo

Setelah membeli tiket masuknya yang murah meriah, seharga nasi angkringan, aku pun segera masuk dan menjelajahi ruangan demi ruangan di museum ini. Di bagian paling depan terdapat koleksi gamelan yang sangat lengkap. Saking lengkapnya, aku pun nggak tau nama jenis-jenisnya.
Gamelan

Beranjak ke bagian dalam, aku melihat ruangan yang berisi koleksi dari peninggalan masa prasejarah. Di dalamnya terdapat banyak tengkorak, bahkan ada satu kuburan kaca yang berisi kerangka manusia purba. Iiii.... Serem.

Tapi katanya itu cuma replika aja. 😂

Selain itu juga ada beberapa peralatan dari batu dan tulang yang digunain pada masa prasejarah.
Tengkorak manusia purba

Kerangka di dalam museum

Di ruangan selanjutnya terdapat ruang klasik dan peninggalan Islam. Di sini juga ada Al-Qur'an tua hingga kitab-kitab kuno. Sayang aku nggak bisa baca isi kitab nya, kan mana tau isinya tentang ilmu kanuragan. 😂
Salah satu catatan kuno koleksi museum

Ruangan selanjutnya berisi berbagai kesenian dan kebudayaan seperti batik dan alat-alat batik, lalu ada koleksi wayang yang beraneka ragam, ada juga koleksi topeng yang terbuat dari kayu. Selanjutnya juga ada koleksi berbagai macam jenis keris. Ternyata keris pun ada bermacam-macam dan memiliki banyak makna. Bahkan jumlah lekuknya juga punya makna tersendiri. Keren...
Batik dan alat-alatnya

Koleksi wayang

Koleksi keris

Di bagian ujung, terdapat pula koleksi berupa permainan-permainan tradisional yang dulunya biasa dimainin para anak-anak seperti ketapel, tembak-tembakan, congklak, kapal othok-othok dan banyak lagi jenis permainan tradisional lainnya. Ngelihat koleksi permainan tradional ini membuatku jadi bernostalgia. Ah.. jadi inget masa saat masih jadi anak-anak.
Permainan tradisional

Koleksi terakhir adalah koleksi budaya Bali. Katanya sih budaya Bali dan Jawa itu memiliki kemiripan. Karena itu benda-benda budaya Bali juga tersimpan di dalam museum ini. Di ruangan terakhir ini terdapat beberapa artefak dan ukiran yang memiliki ciri khas budaya Bali.

Setelah selesai menjelajahi satu demi satu ruangan di Museum Sonobudoyo ini, aku pun segera keluar dari museum untuk melanjutkan petualangan ke destinasi selanjutnya. Let's go...
Museum Sonobudoyo